Jam menunjukkan pukul 21.09 WIB. Saat itu, dalam
keremangan lampu bervoltase rendah di langgar (atau surau) kecil yang akrab dengan
sebutan Langghâr Kopéng, lima penduduk Kampung Parémpegân, Desa Sukamajujalan,
tampak duduk santai. Seperti biasa seusai tadarusan, sebagaimana malam-malam
sebelumnya setiap bulan Ramadhan, mereka berkumpul dan berbincang ringan
tentang banyak permasalahan keseharian (tentu dalam kacamata orang-orang
sederhana seperti mereka), seraya -kalau beruntung- menikmati kopi hangat
nikmat made in isteri sang
shāhibu langgar, Pak Syaikhi.
“Eh, kalian tahu tidak?” tanya Pak
Lopak, si tukang ojek dengan trayek antar desa dalam kecamatan. “Tadi sore,” Pak Lopak melanjutkan setelah lebih dahulu menyeruput kopinya
(nampaknya mereka memang sedang beruntung malam ini), “sekilas aku mendengar di
radio ada pak kyai yang dawuh bahwa Ramadhan itu ternyata merupakan
sebuah lembaga pendidikan. Ya syahrun tarbawiyyun, lah.”
“Betul sekali itu,” kata Pak Paémut,
pejabat ‘departemen penerangan’ Masjid Kampung Parémpegân dengan job
description menyalakan dan memadamkan lampu masjid. “Ramadhan adalah bulan
pendidikan dan pelatihan untuk menempa kita, sehingga diharapkan kita tidak
hanya berpuasa dengan benar di bulan Ramadhan, tapi bisa benar-benar ‘berpuasa’
di sebelas bulan yang lain. Misalnya, puasa mendidik kita untuk mengasah
kesabaran. Coba bayangkan, di siang hari kita ‘ditekan’ untuk sabar tidak
makan-minum; juga sabar untuk tidak menyalurkan hasrat biologis dengan pasangan
sah kita.”
“Alangkah puasanya puasa kita!” Pak Syaikhi yang sejak tadi diam tiba-tiba
nyeletuk.
“Maksud Pak Syaikhi?” tanya Kastah, mantan
preman pasar kecamatan yang telah beralih profesi dengan mengelola warung nasi
(atau ‘berbisnis kuliner’ menurut istilah Pak Paémut), seraya menjentikkan abu
rokoknya.
“Ya,
Alangkah puasanya puasa kita” ulang Pak Syaikhi, “jika kita tidak hanya bisa
sabar menahan mulut kita untuk tidak makan-minum dari beras, lauk-pauk dan air
milik kita sendiri, yang dibeli dengan uang kita sendiri, tapi juga tahan untuk
tidak mengangkangi beras orang lain, tidak menyelewengkan harta orang lain, dan
tidak mengkorup hak milik orang lain; belum lagi jika kita juga mampu dan sabar
mengekang diri dari ghibah, rasan-rasan, memfitnah, berbohong,
memelintir pernyataan dan kenyataan, dan segala macam ‘penyakit’ mulut lainnya”
“Iya juga, ya....” kata Kastah.
“Ya, iya lah. Masak iya dong?!” sambung
Sukalér bin Pak Sukalér, si bujang (nyaris lapuk) korban PHK, yang
disambut mesam-mesem anggota forum yang lain.
Setelah menyulut rokok dan menghisapnya
dengan nikmat, Pak Syaikhi melanjutkan:
“Alangkah puasanya puasa kita, jika kita
tidak hanya sabar menahan hasrat badaniah pada isteri yang kita nikahi dengan
sah, tapi juga mampu meredam segenap indera kita dari penyaluran syahwat secara
liar. Betapa sebuah kenyataan paradoksal manakala syahwat kita –baik tua
ataupun muda, bujang atau sudah menikah- semakin ‘nakal’ justeru di bulan suci
ini...”
Sukalér mendadak tertegun.
Selama ini ia istiqāmah
mengikuti tren yang marak tiap Ramadhan tiba; jalan-jalan pagi dan nyarè
malem (Bahasa Madura yang berarti “nyari malam”; kegiatan sejenis
“ngabuburit” dalam Bahasa Sunda) saat sore, baik dengan nongkrong saja di
pertigaan sana atau bersepeda keliing kampung. Dan Sukalér seringkali mencari
‘bonus’ dari aktifitas-aktifitas tersebut; ia jalan-jalan pagi sambil mengamati
yang jalan-jalan; ia nyarè malem sekaligus rè-sarèan alias
celingukan. Hasilnya, belakangan ini -saat tarawih, saat tadarus, saat
buka, saat sahur- benak Sukalér seringkali ‘hanya’ berisi seraut wajah gadis
kampung sebelah yang dijumpainya setiap sore dalam acara nyarè malem
itu. Iapun sibuk menyusun strategi paling jitu untuk, misalnya, memulai kenalan,
lalu tukar nomor ha-pe, lalu pe-de-ka-te, lalu...
Lalu baru saja ia tertempelak dawuh-dawuh
Pak Syaikhi, orang yang sangat ia segani. Sukalér malu abis. Sungguh ia merasa
ditelanjangi. Nyaris ia tak bisa fokus untuk menyimak pètotor Pak Syaikhi
selanjutnya:
“...Alangkah
puasanya puasa kita, jika kita mampu sabar saat harus marah dan segera
berlindung ke balik sugesti innī shāimun, tidak hanya ketika kita lapar
makanan, tapi juga ketika ‘lapar-lapar’ yang lain.”
“‘Lapar-lapar’ yang lain?” Kastah bertanya
bingung.
“Lho,
iya,” jawab Pak Syaikhi. “Lapar itu macam-macam. Sudah naluri manusia untuk merasa
lapar akan harta dan kekayan, lapar akan kekuasaan dan jabatan, lapar akan pengaruh
dan kehormatan. Ada yang sanggup ber’puasa’ dengan laparnya. Ia sadar dan tahu,
kapan boleh ‘makan’, bagaimana cara yang
benar dan sah untuk ‘makan’, lalu ‘makanan’ mana yang layak dan seberapa porsi
yang boleh dikonsumsi. Yang bikin error, kalo kita memaksa untuk
mendapatkan jatah makan sebelum waktunya; atau nekad mengkonsumsi makanan yang
bukan bagian kita; atau sesudah makan, kita masih mengincar jatah orang lain
yang kelihatan lebih lezat. Dalam kondisi-kondisi persaingan seperti ini,
biasanya kita lalu cenderung mengabaikan rambu-rambu agama, etika, dan moral.
Nyaris apapun akan kita lakukan; mencaci-maki dan menjelek-jelekkan orang lain,
character assasination, dermawan dan murah hati tapi untuk meraih
simpati, menjilat ke atas, menyikut kiri kanan, dan menginjak ke bawah, semata
agar kepentingan kita dan kelompok kita; semata untuk memuaskan ‘nafsu makan’
kita yang over dosis itu. Bisa-bisa tidak hanya makanannya yang kita serobot,
orangnya pun kita lahap!”
“Iya, ya,” Pak Paémut menyambung. “Bahkan
seringkali ruh innī shāimun menguap entah ke mana, baik ketika kita
sukses atau gagal. Saat ‘makanan’ yang kita hajati ada dalam genggaman, kita mudah
mengalami euforia. Yang ada dalam ‘program kerja’ kita seringkali hanya
bagaimana kita dan kelompok kita bisa ‘kenyang’ dan bisa terus mempertahankan
kenyang itu. Prioritas kita bukan pendapat tapi pendapatan. Sebaliknya, saat kepentingan
yang kita perjuangkan kandas, kita marah semarah-marahnya, kita ribut, lalu kita
sibuk mencari-cari (bahkan kalau perlu membuat-buat) kelemahan dan kesalahan rival
kita!“
Terdengar suara Pak Syaikhi lirih: “Ah,
sudah puasakah puasa kita selama ini?”
Tidak satupun dari anggota forum yang
tahu jawabannya. Hanya di hati masing-masing terbersit sekelumit doa:
“Semoga...”