Jumat, 09 Desember 2011

9 Worst Man-Eaters: THE X FACTOR

Ikhtitâm:

Di alam liar, harimau, hiu, singa, beruang, buaya, serigala, ular, dan sejenisnya, sama-sama dikenal dengan reputasi sebagai predator puncak dalam ekosistem masing-masing. Secara umum, mereka hanya menjadi ancaman bagi binatang lain yang memang merupakan mangsa alami mereka. Namun, dalam situasi tertentu, para predator ini kerapkali harus bertemu dan terlibat kontak fisik dengan para homo sapiens.

Belakangan ini memang amat jarang adanya laporan serangan predator atas manusia yang berakibat fatal (selain serangan ular berbisa yang relatif konstan pertahun). Malah sebenarnya para predator cenderung menghindar dari terlibat kontak dengan manusia. Kalaupun terjadi pertemuan, maka, tentu saja, senjata alami semacam taring dan cakar tak mampu melawan senjata rakitan manusia yang semakin lama berkembang semakin mematikan. Sehingga kebanyakan ‘perseteruan’ predator-manusia selalu berakhir dengan kematian bagi para predator itu. Belum lagi dalam kasus saat predator berubah status dari ‘pemangsa’ menjadi ‘mangsa’ di mata serakah (sebagian) manusia.

Statistik memang menunjukkan, ular adalah predator yang paling banyak menyebabkan kematian manusia. Namun pembunuhan oleh ular ataupun spesies buas lainnya, pada umumnya, tidak dilakukan dalam rangka ‘memangsa’, tapi lebih atas dasar pertahanan diri atau adanya unsur ‘kebetulan’; mereka melihat manusia sebagai sebuah ancaman. Namun bagaimanapun, para predator dalam catatan-catatan tersebut di atas, secara individual, benar-benar menjadi amat agresif, mematikan, dan mendudukkan manusia dalam ranking teratas daftar menu mereka.

Paling tidak, ada lima faktor yang melatar belakangi kasus-kasus serangan binatang atas manusia: Pertama, ‘perebutan’ sumber makanan dan hak hidup di lingkungan yang sama. Kasus Gustave, Tom, dan para beruang bisa menjadi contoh.

Kedua, murni asal terkam. Faktor kedua ini banyak ditemui dalam kasus serangan hiu dan para macan semisal harimau serta singa. Dalam perspektif hiu, orang yang sedang berenang, dilihat dari bawah, amat mirip dengan anjing laut, mangsa alami mereka. Dalam konteks serangan macan, menurut penelitian, manusia yang sedang membungkuk atau jongkok lebih banyak diserang daripada mereka yang berdiri tegak.

Ketiga, faktor keterbatasan fisik (baik karena cacat atau karena usia lanjut) yang manjadi hambatan serius untuk mendapatkan makanan secara alami. Insiden amukan para macan di Champawat dan Panar adalah contoh yang cukup gamblang. Tak tertutup kemungkinan, mengganasnya singa The Ghost dan The Darkness juga dilatar-belakangi hal yang sama. Namun saya lebih cenderung mengaitkan insiden Tsavo itu dengan faktor kedua di atas. Tapi, seandainya yang mengamuk adalah seekor singa, bukan dua ekor, maka kemungkinan terlibatnya faktor ketiga ini menjadi semakin besar.

Keempat, naluri untuk bertahan saat terancam. Pada situasi seperti ini, siapapun atau apapun akan melakukan hal yang sama: bertahan dan membela diri sesuai kemampuan, sebagaimana telah ditunjukkan Si Buas dari Gevauden. Tapi seandainya si Pemangsa Misterius di Perancis itu adalah benar serigala, maka faktor pertama pun akan menjadi logis.

Kelima, semakin berkurangnya habitat disebabkan perubahan cuaca yang ekstrim. Namun konsekwensi dari hal ini –sebagaimana faktor keempat— tidak hanya menyebabkan terjadinya serangan predator atas manusia, tapi serangan binatang pada umumnya, bahkan yang ‘sekelas’ semut dan lebah sekalipun.

Faktor apapun yang terjadi, jika sampai melahirkan seekor pemangsa manusia, maka resikonya akan sangat besar. Seekor predator yang sudah mencapai level pemangsa manusia, diyakini secara ilmiah akan tetap membunuh walaupun tidak sedang kelaparan.

Pada akhirnya, setiap insiden penyerangan binatang atas manusia, baik yang spektakuler sebagaimana dalam daftar di atas, atau yang sekedar mengakibatkan cedera ringan, biasanya selalu melahirkan pertanyaan yang sama: “siapa melanggar batas siapa?”

Jawabannya bisa kita cari dalam kedirian kita masing-masing sebagai “khalifah” di bumi ini…

Wa-Llâhu Subhânahû wa Ta’âlâ a’lam bi-s shawâb…

***

Partelon, Muharram 1433 H – Desember 2011
Al-Faqîr ilâ Rahmati Rabbi-hi-l ‘Allâm,
Zainur Rahmân Hammâm

4 komentar:

  1. Tok..tok..tok..

    Assalamu'alaikum..
    Kemana ya ini yg punya rumah..

    BalasHapus
    Balasan
    1. *buka pintu*

      Wa'alaikunnas salam w.w.

      Duh... Mbakyu... mari2.. silahkan...silahkan... maaf, saya baru selesai beres2, hehehe... masih berantakan... :-)

      Hapus
  2. Balasan
    1. haduh... maaf, Om... saya baru pulang, hihiii...

      udah tuh... :-)

      Hapus