Kamis, 08 Desember 2011

9 Worst Man-Eaters #01 - GUSTAVE: MESIN PEMBUNUH MASA KINI

Welcome to the Final Countdown!

Sebuas-buasnya para predator dalam catatan-catatan sebelumnya, toh mereka (paling tidak, diyakini) telah tiada. Kebrutalan dan keganasan mereka saat ini hanya menjadi horor dalam memori manusia. Mereka tak lagi menjadi ancaman; ya, mereka semua… kecuali yang satu ini!

Kembali ke Afrika, tepatnya di Republik Burundi, sebuah negara yang dilanda konflik parah sepanjang pertengahan abad XX. Perbedaan politik warga suku Tutsi dan Hutu telah melahirkan kerusuhan dan perang saudara berkepanjangan di negara yang telah berusia 5 abad ini. Tanah memerah oleh darah yang tertumpah. Korban berjatuhan. Namun, seolah tak mau ketinggalan, ada spesies makhluk lain yang ikut meramaikan pesta kematian di Burundi. Dan sialnya, walaupun sejak Agustus 2008 lalu kondisi politik di Burundi berangsur pulih, sang makhluk nampaknya belum tertarik untuk mengakhiri apa yang telah dimulainya sejak 20 tahun terakhir ini; seekor buaya Nil jantan (Crocodylus niloticus) berukuran raksasa. Dengan panjang lebih dari 6 meter dan berbobot sekitar 1 ton, buaya yang dikenal dengan panggilan akrab "Gustave" ini sukses menebar teror di sepanjang sungai Rusizi sampai ke pantai Utara danau Tanganyika!

Ukuran buaya ini memang mengukuhkannya sebagai predator tunggal terbesar di seluruh Afrika (karena pada umumnya, saat ini, buaya Nil berukuran panjang maksimal sekitar 5 meter). Namun bukan ukuran fisik semata yang membuat buaya dari Burundi ini menjadi monster menakutkan, tapi juga reputasinya sebagai pemangsa manusia paling besar yang sampai sekarang masih hidup dan (sangat mungkin) masih aktif. Dilaporkan, bahwa hingga saat ini, buaya itu telah membunuh lebih dari 300 orang!

Menurut penduduk setempat, Gustave sudah menaikkan peringkatnya dari predator buas menjadi pembunuh kejam. Dikatakan bahwa ia membunuh “just for fun”, tidak lagi semata-mata untuk makan. Seringkali ia meninggalkan korbannya begitu saja tanpa dimakan. Setiap kali ia berhasil membunuh, ia akan menghilang seperti hantu sampai berbulan-bulan, lalu muncul di tempat-tempat yang berbeda dan kembali melakukan pembunuhan. Oleh karenanya sulit diperkirakan kapan dan dimana ia akan mengulangi aksinya.

Para pemburu dan bahkan sekelompok pasukan bersenjata pernah berusaha membunuhnya, tapi tak ada yang berhasil (setelah insiden Si Buas dari Gevauden dan Harimau Betina dari Champawat, ini mungkin kasus besar ke-tiga dalam sejarah saat tentara dianggap perlu untuk berurusan dengan binatang pemakan manusia). Mereka hanya mampu menambah ‘tanda pengenal’ pada buaya ini, sehingga ia mudah dibedakan dari buaya-buaya Nil yang lain; sekujur tubuhnya yang seolah berperisai itu dipenuhi cacat bekas luka akibat pisau, tombak bahkan senjata api. Sebuah noda hitam bekas peluru di atas kepala buaya itu menunjukkan bahwa ia pernah ditembak di bagian yang seharusnya mematikan dan menghentikan angkara-murkanya.

Seorang naturalis berkebangsaan Prancis bernama Patrice Faye, 58 tahun, bersama timnya, telah membuntuti dan melacak sang buaya pemakan manusia itu sejak tahun 1998 (konon, ia pulalah yang memberi nama "Gustave"). Mulanya, Faye, yang telah menetap selama 35 tahun di Burundi, memang ingin membunuh Gustave. Namun kini ia berusaha menangkap Gustave hidup-hidup. Jika usahanya berhasil, Faye ingin menempatkan Gustave di sebuah suaka perlindungan. Dia berharap dapat menyelamatkan manusia dari ancaman Gustave dan sekaligus menyelamatkan Gustave dari ancaman pembalasan manusia. Selain itu, barangkali Gustave bisa dikembang-biakkan dan merupakan bagian dari upaya konservasi buaya Nil secara lebih luas. Sebuah video dukumenter memperlihatkan wujud seekor buaya yang diduga kuat adalah Gustave (ukurannya memang fantastis, dan semakin terlihat nyata saat berdampingan dengan beberapa kuda nil dewasa). Video ini juga mengungkapkan usaha Faye dan timnya untuk menangkap Gustave.

Pada tahun 2002, Faye pernah mempersiapkan sebuah perangkap bawah air dari besi berukuran besar. Gustave memang muncul. Tetapi, dengan prediksi bahwa usianya waktu itu sudah 40 tahunan, Gustave barangkali cukup berpengalaman dan terlalu pintar untuk bisa dibodohi begitu saja. Ia bukanlah buaya-buaya culun dalam dongeng sebelum tidur, yang bisa ditipu mentah-mentah oleh seekor kancil. Gustave memang muncul, namun ia hanya berenang mengitari perangkap itu, lalu kembali menghilang.

Sayangnya, harapan untuk menemukan dan menangkap Gustave lewat Faye semakin menipis. Pada awal April 2011 yang lalu, Faye tersangkut kasus tindak pidana perkosaan. Ia dituduh memperkosa lima siswi sekolah yang ia dirikan untuk warga miskin. Faye diseret ke Pengadilan Negara Burundi di Ibukota Bujumbura. Walaupun menyangkal (bahkan pemeriksaan dokter menyatakan bahwa tiga gadis yang mengaku diperkosa ternyata masih perawan), sidang tetap memutuskan Faye bersalah dan memvonisnya dengan hukuman penjara selama 25 tahun serta denda sebesar €14,000,- ($20,000,-). Hingga kini, saya belum mendapatkan kabar, apakah para pembelanya berhasil membebaskan Faye dari tuduhan itu, ataukah ia malah meringkuk di balik terali besi.

Kembali ke urusan buaya tanpa tanda petik, sebuah tim independen dipimpin Michael McRae, seorang jurnalis veteran, dan Martin Best, seorang fotografer, pada tahun 2004 pernah melakukan pelacakan atas Gustave. Menurut laporan McRae, timnya bertemu dengan Faye. Faye memastikan, seminggu sebelumnya ia melihat Gustave di muara sungai Rusizi. Ia pun memimpin tim McRae menuju tempat itu, namun yang mereka dapatkan hanyalah kesia-siaan. Menurut McRae, mungkin rumor kematian Gustave itu benar. Misi dibatalkan dan tim itu memutuskan pulang dengan membawa catatan tak pasti.

Keberadaan Gustave nyaris menjadi mitos, sampai 3 tahun kemudian, Faye menelepon McRae dan memastikan bahwa: “Gustave masih hidup”. Menurutnya, Gustave kembali muncul di Rusizi. Beberapa wisatawan ‘beruntung’ sempat melihatnya. “Kondisinya cukup sehat, dan daftar korbannya bertambah”, kata Faye.

“Saya mengetahui gerak-geriknya selama tiga tahun terakhir ini,” Faye melanjutkan. “Saya memiliki banyak sumber –para nelayan, pilot yang terbang di atas danau- sehingga meskipun saya tidak mendapat informasi tiap hari, saya cukup tahu dimana keberadaanya”. Demikian laporan McRae yang dipublikasikan di majalah National Geographic Adventure (Februari, 2008).

Nampaknya Gustave masih menjadi mimpi buruk terbesar para penduduk setempat. Namun, seperti banyak pemangsa manusia lainnya, Gustave juga mengispirasi para pekerja film dan hiburan (bahkan “mimpi buruk”pun masih bisa menghasilkan uang, bukan?). Pada 2007 lalu, Hollywood Pictures merilis film horor berjudul “Primeval”, garapan sutradara Michael Katleman. Tagline film ini dengan gamblang mengakui bahwa “inspired by a true story” dengan sub-tagline berbunyi “he’s 20 feet long and has taken 300 lives. Now he’s about to resurface.”

Sementara itu, saat ini, di Taman Nasional Rusizi, Burundi, telah dibangun sebuah tempat yang secara khusus dipersiapkan untuk Gustave, sang pemangsa manusia terbesar abad ini!

KOMENTAR SAYA: Buaya, bersama aligator, gavial dan kaiman, adalah anggota keluarga Crocodylidae, kelompok reptil pemangsa terbesar yang masih bertahan di planet ini.

Sebagai reptil, sulit menentukan dengan pasti, buaya apa yang ukurannya paling masiv. Ini karena keluarga Crocodylidae (sebagaimana reptil yang lain) adalah spesies yang dikenal tidak menentu pertumbuhan fisiknya (erratic growth). Selama mereka hidup, maka ukuran fisik mereka akan terus bertambah seiring bertambahnya usia. Saat ini, yang diketahui sebagai buaya terbesar adalah buaya air asin (saltwater crocodile - Crocodylus porosus). Ukuran fisiknya bisa mencapai panjang 7 meter dan berat lebih dari 1 ton (walaupun laporan simpang siur pernah menyatakan bahwa panjang buaya air asin yang tertembak di Teluk Bengala pada 1840 mencapai 10 meter). Bersaing menempati posisi kedua adalah buaya Nil, aligator Amerika, dan gavial.

Sebagai pemangsa, tak disangsikan lagi bahwa buaya adalah ‘raja rimba’ di sungai. Hampir semua indera buaya berfungsi di atas rata-rata dan menunjang rancangan anatomi mereka sebagai pembunuh. Penglihatan mereka mampu melihat sama baiknya di bawah cahaya terang atau di kegelapan malam. Hidung mereka dapat mendeteksi bau mangsa dari jarak sekian kilometer. Dalam hal mendengar suara berfrekwensi rendah, pendengaran mereka masih lebih baik daripada indera pendengaran manusia. Bekal yang luar biasa ini sangat mendukung kerja senjata pembunuh mereka yang paling menakutkan: 70-an baris gigi tajam di atas rahang yang kekuatan cengkeramannya mencapai 2500-5000 psi. (ini berarti buaya mengungguli hiu putih sebagai juara rahang penghancur tulang terkuat di laut serta hyena tutul sebagai jawara di darat). Dengan anugerah perangkat pendukung rahang paling mematikan di bumi, layaklah jika para buaya menjadi predator kelas satu, para pemangsa efektif dan mesin pembunuh efisien.

Di samping itu, sebagai predator yang dikenal tidak memilih-milih makanan. Mereka mengkonsumsi apapun selama itu masih berupa daging, mulai dari ikan, unggas dan mamalia, bahkan yang sekelas (berat) gajah sekalipun. Dengan reputasi sebagai oportunis ulung seperti itu, hampir semua jenis buaya berpotensi sebagai pemakan manusia. Dan dalam hal ini, buaya Nil menempati posisi sebagai pemangsa manusia nomor 1 di dunia. Banyak laporan yang menyatakan bahwa buaya Nil membunuh sampai ratusan orang pertahun di Afrika.

Penyebabnya kurang lebih sama dengan kasus Tom: wilayah yang berdekatan dengan sumber air (dalam hal ini, sungai), dimanapun, selalu menarik untuk ditinggali baik oleh manusia ataupun oleh binatang. Saat manusia dan binatang berbagi habitat yang sama, maka problem yang kemudian biasanya adalah ‘perebutan’ untuk mendapatkan sumber makanan yang sama pula. Dan –tanpa bermaksud menghakimi—manusia, dengan segala perlengkapan dan peralatannya, terkadang berburu di darat dan di air secara berlebihan. Fauna sungai dan sekitarnya akan menipis, baik karena dibunuh atau karena ‘tidak betah’ lalu menyingkir. So, buaya-buaya yang selama ini mendiami daerah sungai yang pinggirannya sudah dipenuhi manusia, akan kesulitan menjumpai mangsa-mangsa alami mereka. Yang mereka lihat saat ini adalah spesies lain: manusia. Dan buaya sama sekali tidak keberatan dengan perubahan menu. Apalagi, spesies baru ini ternyata lebih menggoda karena tak segesit antelop serta zebra, dan tak menakutkan seperti kuda Nil, plus ketersediannya cukup menjanjikan. Maka, terjadilah apa yang telah terjadi.

Lalu, kenapa juga buaya-buaya itu tidak ikut pindah ke daerah lain dimana mereka bisa menemukan mangsa alami mereka? Bukankah logikanya jika para mangsa berpindah, ke sana pulalah para pemangsa menuju?

Yup, umumnya, dinamika kehidupan hampir seluruh predator memang begitu: “di mana ada gula di situ ada semut”. Sedangkan buaya, tidak. Buaya adalah binatang teritorial. Artinya, sekali mereka merasakan mudahnya memperoleh mangsa di suatu tempat, maka mereka akan memutuskan untuk menetap di situ dan mengklaimnya sebagai ‘rumah makan’. Selain itu, kekuasaan mereka di air relatif tak tertanggu oleh populasi manusia yang berkuasa di darat. Apalagi dengan kenyataan bahwa para penghuni darat itu juga bisa menjadi mangsa potensial mereka. Jika pun buaya-buaya itu diuber-uber oleh manusia yang merasa terancam, mereka akan menghilang selama beberapa waktu, bahkan sampai berbulan-bulan, untuk kemudian kembali lagi bila keadaan dirasa cukup aman. Barangkali inilah salah satu sebab mereka dikaruniai Allah kemampuan bertahan dari rasa lapar. Dalam masa-masa sulit (semisal saat ‘menghilang’ ini), seekor buaya dapat bertahan tanpa makan selama setahun lebih!.

Dalam kasus Gustave, ilmuwan dan herpetologis (para peneliti amphibi dan reptil) mengklaim bahwa ukuran dan bobotnya yang melebihi rata-rata barangkali yang menyebabkan buaya itu menjadi pemangsa luar biasa. Tak cukup lincah untuk memburu mangsa yang gesit dan tertuntut untuk mengisi perut besarnya, Gustave mulai mengabaikan mangsa standar seperti ikan atau antelop dan beralih pada mangsa lebih besar yang sering betah di sekitar sungai semacam zebra, wildebeest, kerbau liar, dan –tentu saja- manusia. Nafsu makannya memang menakutkan. Pernah dilaporkan, Gustave menerkam dan memangsa seekor kuda Nil dewasa yang –karena ukuran dan kekuatannya—justru dihindari oleh kebanyakan buaya.

Selain itu, menurut saya, ada kemungkinan faktor lain yang bisa diajukan. Konon, tidak semua korban tewas perang saudara di Burundi dikuburkan, tapi ada yang dibuang begitu saja ke sungai. Ini tentu saja bagaikan undangan pesta makan bagi para buaya. Dan karena hal ini berlangsung selama bertahun-tahun, sangat logis jika kemudian muncul para monster yang ketagihan makanan gratis nan gurih pula. Meminjam istilah karakter Tim Manfrey (diperankan Dominic Purcell) dalam Primeval (2007): “We make, create, our own monsters!”

Selanjutnya, barangkali muncul pertanyaan: Mengapa hanya Gustave yang menjadi satu-satunya pemangsa manusia paling produktif di Afrika?

Dalam sebuah masyarakat buaya (yang tidak ter’organisir’ dengan rapi sebagaimana dalam sebuah pride singa), berlaku sistem "hirarki"; pejantan manapun bisa menjadi penguasa dengan satu syarat: ukurannya haruslah paling besar! Seekor buaya yang ukuran fisiknya melebihi anggota ‘masyarakat’ yang lain akan cenderung egois, kejam, dan ‘semena-mena’, terutama saat musim kawin atau saat persediaan makanan sulit; ia akan mengawini betina manapun yang ia inginkan, dan (merasa) berhak atas semua hasil buruan. Ia jarang berburu, tapi suka sekali makan. Sebaliknya, saat buaya lain menghadapi kesulitan menjatuhkan mangsa karena berukuran besar misalnya, si penguasa ini lebih memilih cuek (Kalo teman-temannya berhasil, toh dia juga yang memperoleh jatah paling banyak tanpa harus ‘peras keringat’ dan beresiko terluka).

Ukuran pejantan penguasa yang besar memang cukup efektif mengintimidasi pejantan lain agar tidak coba-coba memancing kemarahannya. Kalaupun ada pejantan lain yang lebih kecil nekad ingin mencoba ‘mencicipi’ fasilitas sang penguasa, semisal mengawini betinanya, maka ia harus melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Jika sampai diketahui, resikonya besar sekali; sang penguasa tak segan menyerang pejantan nekad itu secara brutal bahkan membunuhnya (stasiun TV Nat Geo Wild pernah menayangkan, seekor buaya penantang yang berakhir dengan nasib tragis; ia memang masih hidup, namun kehilangan hampir seluruh moncongnya). Di bawah tekanan diktator semacam ini, biasanya, buaya-buaya lain yang ingin makan dengan tenang, harus menjauh dari wilayah itu; atau berburu di perairan dangkal dan berbelukar lebat, agar si penguasa kesulitan merampas bagiannya.

Maka, jawaban paling sederhana atas pertanyaan di atas adalah: belum ada yang cukup berani mengangkangi ‘meja makan’ buaya raksasa seperti Gustave!

(Bersambung ke Man-Eaters - Ikhtitâm, In Syâ' Allâh)

1 komentar:

  1. sama seperti di taman nasional sebangau - Kalimantan tengah, sebagai salah satu hutan lindung tropis rawa gambut terbesar di dunia, seringkali kami pemancing bertemu dgn buaya2 yg berukuran relatif besar dari 4 hingga 7 meter,bhkan hingga detik ini hanya ada 4 kasus pnyerangan buaya trhdap manusia, itupun karena habitat mereka di rusak akibat penebangan liar,selebihnya mreka tdk berpindah dari lokasi trsebut sebab ktersediaan ikan dan habitat yg baik,byangkan bila hbitat itu rusak,akan ada ratusan bhkan ribuan buaya berukuran besar yg akan mengamuk,sama sperti kasus 2005 di Kab. Katingan ketika ratusan buaya2 muncul ke perairan sbab ikan2 telah hbs di racuni...

    BalasHapus