
Sebuas-buasnya para predator dalam catatan-catatan sebelumnya, toh mereka (paling tidak, diyakini) telah tiada. Kebrutalan dan keganasan mereka saat ini hanya menjadi horor dalam memori manusia. Mereka tak lagi menjadi ancaman; ya, mereka semua… kecuali yang satu ini!
Kembali ke Afrika, tepatnya di Republik Burundi, sebuah negara yang dilanda konflik parah sepanjang pertengahan abad XX. Perbedaan politik warga suku Tutsi dan Hutu telah melahirkan kerusuhan dan perang saudara berkepanjangan di negara yang telah berusia 5 abad ini. Tanah memerah oleh darah yang tertumpah. Korban berjatuhan. Namun, seolah tak mau ketinggalan, ada spesies makhluk lain yang ikut meramaikan pesta kematian di Burundi. Dan sialnya, walaupun sejak Agustus 2008 lalu kondisi politik di Burundi berangsur pulih, sang makhluk nampaknya belum tertarik untuk mengakhiri apa yang telah dimulainya sejak 20 tahun terakhir ini; seekor buaya Nil jantan (Crocodylus niloticus) berukuran raksasa. Dengan panjang lebih dari 6 meter dan berbobot sekitar 1 ton, buaya yang dikenal dengan panggilan akrab "Gustave" ini sukses menebar teror di sepanjang sungai Rusizi sampai ke pantai Utara danau Tanganyika!
Ukuran buaya ini memang mengukuhkannya sebagai predator tunggal terbesar di seluruh Afrika (karena pada umumnya, saat ini, buaya Nil berukuran panjang maksimal sekitar 5 meter). Namun bukan ukuran fisik semata yang membuat buaya dari Burundi ini menjadi monster menakutkan, tapi juga reputasinya sebagai pemangsa manusia paling besar yang sampai sekarang masih hidup dan (sangat mungkin) masih aktif. Dilaporkan, bahwa hingga saat ini, buaya itu telah membunuh lebih dari 300 orang!


Seorang naturalis berkebangsaan Prancis bernama Patrice Faye, 58 tahun, bersama timnya, telah membuntuti dan melacak sang buaya pemakan manusia itu sejak tahun 1998 (konon, ia pulalah yang memberi nama "Gustave"). Mulanya, Faye, yang telah menetap selama 35 tahun di Burundi, memang ingin membunuh Gustave. Namun kini ia berusaha menangkap Gustave hidup-hidup. Jika usahanya berhasil, Faye ingin menempatkan Gustave di sebuah suaka perlindungan. Dia berharap dapat menyelamatkan manusia dari ancaman Gustave dan sekaligus menyelamatkan Gustave dari ancaman pembalasan manusia. Selain itu, barangkali Gustave bisa dikembang-biakkan dan merupakan bagian dari upaya konservasi buaya Nil secara lebih luas. Sebuah video dukumenter memperlihatkan wujud seekor buaya yang diduga kuat adalah Gustave (ukurannya memang fantastis, dan semakin terlihat nyata saat berdampingan dengan beberapa kuda nil dewasa). Video ini juga mengungkapkan usaha Faye dan timnya untuk menangkap Gustave.

Sayangnya, harapan untuk menemukan dan menangkap Gustave lewat Faye semakin menipis. Pada awal April 2011 yang lalu, Faye tersangkut kasus tindak pidana perkosaan. Ia dituduh memperkosa lima siswi sekolah yang ia dirikan untuk warga miskin. Faye diseret ke Pengadilan Negara Burundi di Ibukota Bujumbura. Walaupun menyangkal (bahkan pemeriksaan dokter menyatakan bahwa tiga gadis yang mengaku diperkosa ternyata masih perawan), sidang tetap memutuskan Faye bersalah dan memvonisnya dengan hukuman penjara selama 25 tahun serta denda sebesar €14,000,- ($20,000,-). Hingga kini, saya belum mendapatkan kabar, apakah para pembelanya berhasil membebaskan Faye dari tuduhan itu, ataukah ia malah meringkuk di balik terali besi.
Kembali ke urusan buaya tanpa tanda petik, sebuah tim independen dipimpin Michael McRae, seorang jurnalis veteran, dan Martin Best, seorang fotografer, pada tahun 2004 pernah melakukan pelacakan atas Gustave. Menurut laporan McRae, timnya bertemu dengan Faye. Faye memastikan, seminggu sebelumnya ia melihat Gustave di muara sungai Rusizi. Ia pun memimpin tim McRae menuju tempat itu, namun yang mereka dapatkan hanyalah kesia-siaan. Menurut McRae, mungkin rumor kematian Gustave itu benar. Misi dibatalkan dan tim itu memutuskan pulang dengan membawa catatan tak pasti.
Keberadaan Gustave nyaris menjadi mitos, sampai 3 tahun kemudian, Faye menelepon McRae dan memastikan bahwa: “Gustave masih hidup”. Menurutnya, Gustave kembali muncul di Rusizi. Beberapa wisatawan ‘beruntung’ sempat melihatnya. “Kondisinya cukup sehat, dan daftar korbannya bertambah”, kata Faye.
“Saya mengetahui gerak-geriknya selama tiga tahun terakhir ini,” Faye melanjutkan. “Saya memiliki banyak sumber –para nelayan, pilot yang terbang di atas danau- sehingga meskipun saya tidak mendapat informasi tiap hari, saya cukup tahu dimana keberadaanya”. Demikian laporan McRae yang dipublikasikan di majalah National Geographic Adventure (Februari, 2008).

Sementara itu, saat ini, di Taman Nasional Rusizi, Burundi, telah dibangun sebuah tempat yang secara khusus dipersiapkan untuk Gustave, sang pemangsa manusia terbesar abad ini!
KOMENTAR SAYA: Buaya, bersama aligator, gavial dan kaiman, adalah anggota keluarga Crocodylidae, kelompok reptil pemangsa terbesar yang masih bertahan di planet ini.
Sebagai reptil, sulit menentukan dengan pasti, buaya apa yang ukurannya paling masiv. Ini karena keluarga Crocodylidae (sebagaimana reptil yang lain) adalah spesies yang dikenal tidak menentu pertumbuhan fisiknya (erratic growth). Selama mereka hidup, maka ukuran fisik mereka akan terus bertambah seiring bertambahnya usia. Saat ini, yang diketahui sebagai buaya terbesar adalah buaya air asin (saltwater crocodile - Crocodylus porosus). Ukuran fisiknya bisa mencapai panjang 7 meter dan berat lebih dari 1 ton (walaupun laporan simpang siur pernah menyatakan bahwa panjang buaya air asin yang tertembak di Teluk Bengala pada 1840 mencapai 10 meter). Bersaing menempati posisi kedua adalah buaya Nil, aligator Amerika, dan gavial.




Lalu, kenapa juga buaya-buaya itu tidak ikut pindah ke daerah lain dimana mereka bisa menemukan mangsa alami mereka? Bukankah logikanya jika para mangsa berpindah, ke sana pulalah para pemangsa menuju?
Yup, umumnya, dinamika kehidupan hampir seluruh predator memang begitu: “di mana ada gula di situ ada semut”. Sedangkan buaya, tidak. Buaya adalah binatang teritorial. Artinya, sekali mereka merasakan mudahnya memperoleh mangsa di suatu tempat, maka mereka akan memutuskan untuk menetap di situ dan mengklaimnya sebagai ‘rumah makan’. Selain itu, kekuasaan mereka di air relatif tak tertanggu oleh populasi manusia yang berkuasa di darat. Apalagi dengan kenyataan bahwa para penghuni darat itu juga bisa menjadi mangsa potensial mereka. Jika pun buaya-buaya itu diuber-uber oleh manusia yang merasa terancam, mereka akan menghilang selama beberapa waktu, bahkan sampai berbulan-bulan, untuk kemudian kembali lagi bila keadaan dirasa cukup aman. Barangkali inilah salah satu sebab mereka dikaruniai Allah kemampuan bertahan dari rasa lapar. Dalam masa-masa sulit (semisal saat ‘menghilang’ ini), seekor buaya dapat bertahan tanpa makan selama setahun lebih!.
Dalam kasus Gustave, ilmuwan dan herpetologis (para peneliti amphibi dan reptil) mengklaim bahwa ukuran dan bobotnya yang melebihi rata-rata barangkali yang menyebabkan buaya itu menjadi pemangsa luar biasa. Tak cukup lincah untuk memburu mangsa yang gesit dan tertuntut untuk mengisi perut besarnya, Gustave mulai mengabaikan mangsa standar seperti ikan atau antelop dan beralih pada mangsa lebih besar yang sering betah di sekitar sungai semacam zebra, wildebeest, kerbau liar, dan –tentu saja- manusia. Nafsu makannya memang menakutkan. Pernah dilaporkan, Gustave menerkam dan memangsa seekor kuda Nil dewasa yang –karena ukuran dan kekuatannya—justru dihindari oleh kebanyakan buaya.
Selain itu, menurut saya, ada kemungkinan faktor lain yang bisa diajukan. Konon, tidak semua korban tewas perang saudara di Burundi dikuburkan, tapi ada yang dibuang begitu saja ke sungai. Ini tentu saja bagaikan undangan pesta makan bagi para buaya. Dan karena hal ini berlangsung selama bertahun-tahun, sangat logis jika kemudian muncul para monster yang ketagihan makanan gratis nan gurih pula. Meminjam istilah karakter Tim Manfrey (diperankan Dominic Purcell) dalam Primeval (2007): “We make, create, our own monsters!”
Selanjutnya, barangkali muncul pertanyaan: Mengapa hanya Gustave yang menjadi satu-satunya pemangsa manusia paling produktif di Afrika?
Dalam sebuah masyarakat buaya (yang tidak ter’organisir’ dengan rapi sebagaimana dalam sebuah pride singa), berlaku sistem "hirarki"; pejantan manapun bisa menjadi penguasa dengan satu syarat: ukurannya haruslah paling besar! Seekor buaya yang ukuran fisiknya melebihi anggota ‘masyarakat’ yang lain akan cenderung egois, kejam, dan ‘semena-mena’, terutama saat musim kawin atau saat persediaan makanan sulit; ia akan mengawini betina manapun yang ia inginkan, dan (merasa) berhak atas semua hasil buruan. Ia jarang berburu, tapi suka sekali makan. Sebaliknya, saat buaya lain menghadapi kesulitan menjatuhkan mangsa karena berukuran besar misalnya, si penguasa ini lebih memilih cuek (Kalo teman-temannya berhasil, toh dia juga yang memperoleh jatah paling banyak tanpa harus ‘peras keringat’ dan beresiko terluka).
Ukuran pejantan penguasa yang besar memang cukup efektif mengintimidasi pejantan lain agar tidak coba-coba memancing kemarahannya. Kalaupun ada pejantan lain yang lebih kecil nekad ingin mencoba ‘mencicipi’ fasilitas sang penguasa, semisal mengawini betinanya, maka ia harus melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Jika sampai diketahui, resikonya besar sekali; sang penguasa tak segan menyerang pejantan nekad itu secara brutal bahkan membunuhnya (stasiun TV Nat Geo Wild pernah menayangkan, seekor buaya penantang yang berakhir dengan nasib tragis; ia memang masih hidup, namun kehilangan hampir seluruh moncongnya). Di bawah tekanan diktator semacam ini, biasanya, buaya-buaya lain yang ingin makan dengan tenang, harus menjauh dari wilayah itu; atau berburu di perairan dangkal dan berbelukar lebat, agar si penguasa kesulitan merampas bagiannya.
Maka, jawaban paling sederhana atas pertanyaan di atas adalah: belum ada yang cukup berani mengangkangi ‘meja makan’ buaya raksasa seperti Gustave!
(Bersambung ke Man-Eaters - Ikhtitâm, In Syâ' Allâh)
sama seperti di taman nasional sebangau - Kalimantan tengah, sebagai salah satu hutan lindung tropis rawa gambut terbesar di dunia, seringkali kami pemancing bertemu dgn buaya2 yg berukuran relatif besar dari 4 hingga 7 meter,bhkan hingga detik ini hanya ada 4 kasus pnyerangan buaya trhdap manusia, itupun karena habitat mereka di rusak akibat penebangan liar,selebihnya mreka tdk berpindah dari lokasi trsebut sebab ktersediaan ikan dan habitat yg baik,byangkan bila hbitat itu rusak,akan ada ratusan bhkan ribuan buaya berukuran besar yg akan mengamuk,sama sperti kasus 2005 di Kab. Katingan ketika ratusan buaya2 muncul ke perairan sbab ikan2 telah hbs di racuni...
BalasHapus