Amerika, Asia dan Eropa telah kita jelajahi. Saatnya sekarang kita berkunjung ke benua hitam Afrika, rumah dari banyak predator tangguh dan hebat.
Di daratan, tak diragukan lagi, bahwa predator teratas dan paling disegani adalah singa. Hampir semua binatang di Afrika, mulai dari yang berukuran kecil seperti warthog; yang sedang seperti antelop dan zebra; sampai yang besar semacam kerbau liar, kuda Nil, jerapah, bahkan gajah, adalah mangsa potensial bagi keluarga singa, dan tentu saja, tanpa mengecualikan manusia.
DR. Craig Packer, pakar biologi dari universitas Stanford dan ahli senior di Serengeti Lion Project, memperkirakan bahwa (minimal) 200 orang/tahun menjadi korban serangan binatang semacam singa, buaya, gajah, kuda Nil, dan ular. 70 dari jumlah tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab para singa. Menurutnya, antara tahun 1990-2004, singa telah menyerang 815 orang di Tanzania, 563 di antaranya tewas. Sebelumnya, pada tahun 1932, di kota Njombe, Tanzania, pernah terjadi serangan brutal sejumlah besar singa atas manusia dan menewaskan 1500 (bahkan ada yang menyebutkan 2000) orang!
Namun, secara individual, singa pemangsa manusia yang rekor jumlah korbannya paling spektakuler adalah dua bersaudara singa jantan yang menjadi hantu-hantu penyebar maut pada tahun 1889. (Belakangan diketahui bahwa keduanya adalah subspesies singa Tsavo [Panthera leo nubica]. Singa jantan Tsavo dikenal memiliki perbedaan yang cukup mencolok dibanding singa jantan lain pada umumnya, yaitu surai yang pendek dan jauh dari kata “gondrong”).
Inggris --sebagai negara penjajah saat itu—tengah memulai proyek pembangunan jembatan kereta api di atas sungai Tsavo, Kenya. Dan kedua singa tersebut ternyata ikut “ambil bagian” dalam proyek yang sama, namun dengan cara berbeda: menyerang dan membantai para pekerja!
Mulanya, kedua singa itu menyergap para pekerja dalam tenda-tenda mereka di malam hari, menyeret mereka ke hutan dan melahap mereka. Tapi dalam waktu singkat, keduanya semakin berani dan tidak lagi main sembunyi-sembunyi. Mereka langsung menyerang dan memangsa korbannya di sekitar tenda.
Keganasan, kelicikan, dan ukuran fisik para singa ini begitu luar biasa (dilaporkan bahwa masing-masing berukuran panjang 3 meter) sehingga banyak pribumi meyakini bahwa mereka bukanlah singa-singa biasa, tapi reinkarnasi dari raja-raja lokal kuno yang berusaha mengusir para penjajah (kepercayaan bahwa seorang raja yang mati akan dilahirkan kembali sebagai singa pernah sangat mengakar di kalangan pribumi Afrika Timur). Kedua singa pemakan manusia yang mendapat julukan “The Ghost” dan “The Darkness” ini membuat ratusan pekerja begitu takut sehingga mereka memutuskan lari keluar dari Tsavo. Pembangunan jalur kereta api itu pun macet, karena tak seorang pun rela hati menjadi korban berikutnya.
Akhirnya, Letnan Kolonel John Henry Patterson (1867-1947), pimpinan dan penanggung jawab proyek pembangunan jalur kereta api itu, memutuskan bahwa satu-satunya solusi untuk mengakhiri mimpi buruk ini adalah dengan membunuh kedua pemangsa manusia tersebut. Dan pada 9 Desember 1898, Patterson berhasil melukai salah satu dari kedua singa itu dengan sebutir peluru kaliber 303. Sang singa berhasil lolos, lalu malamnya ia kembali dan menguntit Patterson yang masih terus memburunya. Berkali-kali Patterson menembak singa itu, namun hasilnya baru diketahui setelah malam berganti siang. Singa itu ditemukan sudah tak bernyawa.
20 hari kemudian, dia berhadapan langsung dengan singa kedua. Patterson menghadiahinya lima tembakan, namun singa ini benar-benar tangguh. Ia bangkit kembali dan menyerang Patterson. Patterson nyaris menjadi salah satu daftar korban sang singa. Pria itu kembali memberondongnya. Sang singa akhirnya tumbang tak bernyawa dengan dua peluru bersarang di dadanya dan sebutir lagi menembus kepalanya.
Selama proses perburuannya, Patterson juga menemukan gua sarang kedua singa itu. Di dalamnya ia menemukan banyak potongan tubuh manusia, potongan pakaian dan berbagai perlengkapan. Hingga kini, gua itu tetap lestari. Dan meskipun banyak tulang manusia yang digali dan ditemukan, namun dipercaya, bahwa di balik tanah lembab dan relung-relung gua yang gelap, sisa-sisanya masih tetap ada.
Sampai sekarang, tak ada yang bisa memastikan jumlah korban keganasan “The Ghost” dan “The Darkness” ini. Patterson mengklaim bahwa kedua singa itu telah menewaskan 135 orang. Beberapa ahli menyatakan, bahwa yang dimakan ‘hanya’ sekitar 35 korban. Penelitian terbaru, yang dilakukan oleh Tom Gnoske dan Julian Kerbis Peterhansa pada 2001 dan dipublikasikan dalam The Journal of the East African Natural History Society, mengindikasikan bahwa sangat mungkin korban tewas melampaui angka 100. Walau bagaimanapun, antara “membunuh saja” dengan “membunuh dan memakan” tentu berbeda. Pernyataan bahwa korban yang dimakan adalah 35 tidak berarti bahwa kedua singa Tsavo ini tidak membunuh lebih banyak orang yang lain.
Pada 1924, setelah lebih 25 tahun menjadi karpet penghias lantai Patterson, kulit kedua singa ini dijual ke Museum Chicago. Dengan taxidermis (seni mengawetkan binatang), kedua singa itu direkonstruksi dan sampai sekarang masih terpajang di museum tersebut. Konon, dalam rangka mengembalikan “Sang Hantu dan Sang Kegelapan” ke Tsavo, Pemerintah Kenya berminat membangun sebuah museum yang didedikasikan untuk singa-singa ini. Tapi, Stephen Hopkins, seorang sutradara kelahiran Jamaika, lebih dulu ‘menghidupkan’ singa-singa ini pada 1996 lewat film berjudul “The Ghost and the Darkness” dan melibatkan aktor watak kawakan Michael Douglas dan Val Kilmer.
KOMENTAR SAYA: Singa, bersama harimau, jaguar dan leopard, adalah keluarga kucing paling besar yang termasuk dalam jenis panthera. Namun singa memiliki ‘gaya hidup’ yang unik dan berbeda dari ketiga saudaranya. Jika ‘kucing’ lain pada umumnya ‘makan, makan sendiri; tidur pun aku sendiri’, maka singa lebih menyukai hidup dalam sebuah ‘organisasi sosial’; sebuah kelompok yang dikenal dengan istilah “pride”. Di setiap habitat singa seperti di Afrika dan sebagian Asia, lazim terdapat beberapa pride yang memiliki wilayah kekuasaannya masing-masing dan dijaga secara ketat. Memasuki wilayah kekuasaan pride lain dapat memicu timbulnya perang terbuka.
Dalam sebuah pride, singa jantan dewasa bertugas sebagai raja, pelindung pride dan tukang bikin anak, sementara tugas berburu dan memberi makan anggota pride sepenuhnya menjadi tanggung jawab para betina (walaupun beberapa singa jantan muda –bahkan sang ketua juga- sesekali ikut berpartisipasi aktif dalam perburuan, terutama jika sasarannya berukuran besar).
Satu pride umumnya beranggotakan belasan bahkan sampai puluhan anggota yang terdiri dari singa-singa betina, anak-anak mereka, dan seekor jantan dewasa sebagai ‘kepala keluarga’ (pernah diketahui sebuah pride yang beranggotakan 30 ekor singa). Tak jarang pula, satu pride dikepalai 2 singa jantan atau lebih (diistilahkan dengan “koalisi”) yang masih memiliki hubungan kekerabatan sangat dekat. Namun ‘koalisi’ ini biasanya tak akan bertahan lama. Saat seekor pejantan mencapai kematangan seksual, ia akan menjadi dominan dalam rangka menyingkirkan pejantan yang lain.
Menurut tradisi singa, jika dalam sebuah pride terdapat satu atau beberapa anak jantan yang beranjak dewasa, maka mereka ‘diharuskan’ keluar dari pride itu untuk membentuk pride-nya sendiri. Biasanya, singa-singa jantan yang ‘terusir’ ini akan berkelana selama beberapa waktu, sambil mempersiapkan ‘fisik dan mental’ mereka, sampai mereka siap untuk menantang dan bertarung habis-habisan dengan singa jantan lain untuk merebut pride-nya. (Inilah versi harfiah dari Pride Fighting Championship, he… he… he…)
Pada masa-masa sebelum dan sesudah perang perebutan pride inilah, akan dijumpai singa-singa jantan dewasa yang tak berada dalam sebuah pride, baik singa pengelana yang akan merebut kekuasaan atau singa pecundang yang tergusur dari tahtanya. Pada periode ini, mereka tertuntut untuk bisa berburu dan mencari makan sendiri. Di lain pihak, fisik yang besar dan berat, serta (kebanyakan memiliki) surai yang lebat, menjadi hambatan bagi singa-singa jantan ini untuk gesit berburu dengan metode reguler: “kejar dan tangkap”. Belum lagi seekor singa jantan yang turun tahta juga terkendala kondisi fisik karena faktor usia atau cedera serius. Maka, pada saat-saat seperi ini, singa jantan akan menjadi semakin agresif , buas, dan cenderung oportunis. Untuk mengisi perutnya, tanpa ‘malu-malu’ mereka akan merampas hasil buruan predator lain, mengkonsumsi bangkai, atau menyerang bayi-bayi binatang dan mangsa lain yang mudah ditangkap. Dan celakanya, di mata mereka, manusia termasuk ‘mangsa yang mudah dan relatif tanpa perlawanan berarti’.
Nah, sangat mungkin, insiden Tsavo di atas terjadi dalam suasana pra-pasca ‘pemindahan kekoeasaan dan lain-lain’ tersebut.
(Bersambung ke Man-Eaters #03, In Syâ' Allâh)
Di daratan, tak diragukan lagi, bahwa predator teratas dan paling disegani adalah singa. Hampir semua binatang di Afrika, mulai dari yang berukuran kecil seperti warthog; yang sedang seperti antelop dan zebra; sampai yang besar semacam kerbau liar, kuda Nil, jerapah, bahkan gajah, adalah mangsa potensial bagi keluarga singa, dan tentu saja, tanpa mengecualikan manusia.
DR. Craig Packer, pakar biologi dari universitas Stanford dan ahli senior di Serengeti Lion Project, memperkirakan bahwa (minimal) 200 orang/tahun menjadi korban serangan binatang semacam singa, buaya, gajah, kuda Nil, dan ular. 70 dari jumlah tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab para singa. Menurutnya, antara tahun 1990-2004, singa telah menyerang 815 orang di Tanzania, 563 di antaranya tewas. Sebelumnya, pada tahun 1932, di kota Njombe, Tanzania, pernah terjadi serangan brutal sejumlah besar singa atas manusia dan menewaskan 1500 (bahkan ada yang menyebutkan 2000) orang!
Namun, secara individual, singa pemangsa manusia yang rekor jumlah korbannya paling spektakuler adalah dua bersaudara singa jantan yang menjadi hantu-hantu penyebar maut pada tahun 1889. (Belakangan diketahui bahwa keduanya adalah subspesies singa Tsavo [Panthera leo nubica]. Singa jantan Tsavo dikenal memiliki perbedaan yang cukup mencolok dibanding singa jantan lain pada umumnya, yaitu surai yang pendek dan jauh dari kata “gondrong”).
Inggris --sebagai negara penjajah saat itu—tengah memulai proyek pembangunan jembatan kereta api di atas sungai Tsavo, Kenya. Dan kedua singa tersebut ternyata ikut “ambil bagian” dalam proyek yang sama, namun dengan cara berbeda: menyerang dan membantai para pekerja!
Mulanya, kedua singa itu menyergap para pekerja dalam tenda-tenda mereka di malam hari, menyeret mereka ke hutan dan melahap mereka. Tapi dalam waktu singkat, keduanya semakin berani dan tidak lagi main sembunyi-sembunyi. Mereka langsung menyerang dan memangsa korbannya di sekitar tenda.
Keganasan, kelicikan, dan ukuran fisik para singa ini begitu luar biasa (dilaporkan bahwa masing-masing berukuran panjang 3 meter) sehingga banyak pribumi meyakini bahwa mereka bukanlah singa-singa biasa, tapi reinkarnasi dari raja-raja lokal kuno yang berusaha mengusir para penjajah (kepercayaan bahwa seorang raja yang mati akan dilahirkan kembali sebagai singa pernah sangat mengakar di kalangan pribumi Afrika Timur). Kedua singa pemakan manusia yang mendapat julukan “The Ghost” dan “The Darkness” ini membuat ratusan pekerja begitu takut sehingga mereka memutuskan lari keluar dari Tsavo. Pembangunan jalur kereta api itu pun macet, karena tak seorang pun rela hati menjadi korban berikutnya.
Akhirnya, Letnan Kolonel John Henry Patterson (1867-1947), pimpinan dan penanggung jawab proyek pembangunan jalur kereta api itu, memutuskan bahwa satu-satunya solusi untuk mengakhiri mimpi buruk ini adalah dengan membunuh kedua pemangsa manusia tersebut. Dan pada 9 Desember 1898, Patterson berhasil melukai salah satu dari kedua singa itu dengan sebutir peluru kaliber 303. Sang singa berhasil lolos, lalu malamnya ia kembali dan menguntit Patterson yang masih terus memburunya. Berkali-kali Patterson menembak singa itu, namun hasilnya baru diketahui setelah malam berganti siang. Singa itu ditemukan sudah tak bernyawa.
20 hari kemudian, dia berhadapan langsung dengan singa kedua. Patterson menghadiahinya lima tembakan, namun singa ini benar-benar tangguh. Ia bangkit kembali dan menyerang Patterson. Patterson nyaris menjadi salah satu daftar korban sang singa. Pria itu kembali memberondongnya. Sang singa akhirnya tumbang tak bernyawa dengan dua peluru bersarang di dadanya dan sebutir lagi menembus kepalanya.
Selama proses perburuannya, Patterson juga menemukan gua sarang kedua singa itu. Di dalamnya ia menemukan banyak potongan tubuh manusia, potongan pakaian dan berbagai perlengkapan. Hingga kini, gua itu tetap lestari. Dan meskipun banyak tulang manusia yang digali dan ditemukan, namun dipercaya, bahwa di balik tanah lembab dan relung-relung gua yang gelap, sisa-sisanya masih tetap ada.
Sampai sekarang, tak ada yang bisa memastikan jumlah korban keganasan “The Ghost” dan “The Darkness” ini. Patterson mengklaim bahwa kedua singa itu telah menewaskan 135 orang. Beberapa ahli menyatakan, bahwa yang dimakan ‘hanya’ sekitar 35 korban. Penelitian terbaru, yang dilakukan oleh Tom Gnoske dan Julian Kerbis Peterhansa pada 2001 dan dipublikasikan dalam The Journal of the East African Natural History Society, mengindikasikan bahwa sangat mungkin korban tewas melampaui angka 100. Walau bagaimanapun, antara “membunuh saja” dengan “membunuh dan memakan” tentu berbeda. Pernyataan bahwa korban yang dimakan adalah 35 tidak berarti bahwa kedua singa Tsavo ini tidak membunuh lebih banyak orang yang lain.
Pada 1924, setelah lebih 25 tahun menjadi karpet penghias lantai Patterson, kulit kedua singa ini dijual ke Museum Chicago. Dengan taxidermis (seni mengawetkan binatang), kedua singa itu direkonstruksi dan sampai sekarang masih terpajang di museum tersebut. Konon, dalam rangka mengembalikan “Sang Hantu dan Sang Kegelapan” ke Tsavo, Pemerintah Kenya berminat membangun sebuah museum yang didedikasikan untuk singa-singa ini. Tapi, Stephen Hopkins, seorang sutradara kelahiran Jamaika, lebih dulu ‘menghidupkan’ singa-singa ini pada 1996 lewat film berjudul “The Ghost and the Darkness” dan melibatkan aktor watak kawakan Michael Douglas dan Val Kilmer.
KOMENTAR SAYA: Singa, bersama harimau, jaguar dan leopard, adalah keluarga kucing paling besar yang termasuk dalam jenis panthera. Namun singa memiliki ‘gaya hidup’ yang unik dan berbeda dari ketiga saudaranya. Jika ‘kucing’ lain pada umumnya ‘makan, makan sendiri; tidur pun aku sendiri’, maka singa lebih menyukai hidup dalam sebuah ‘organisasi sosial’; sebuah kelompok yang dikenal dengan istilah “pride”. Di setiap habitat singa seperti di Afrika dan sebagian Asia, lazim terdapat beberapa pride yang memiliki wilayah kekuasaannya masing-masing dan dijaga secara ketat. Memasuki wilayah kekuasaan pride lain dapat memicu timbulnya perang terbuka.
Dalam sebuah pride, singa jantan dewasa bertugas sebagai raja, pelindung pride dan tukang bikin anak, sementara tugas berburu dan memberi makan anggota pride sepenuhnya menjadi tanggung jawab para betina (walaupun beberapa singa jantan muda –bahkan sang ketua juga- sesekali ikut berpartisipasi aktif dalam perburuan, terutama jika sasarannya berukuran besar).
Satu pride umumnya beranggotakan belasan bahkan sampai puluhan anggota yang terdiri dari singa-singa betina, anak-anak mereka, dan seekor jantan dewasa sebagai ‘kepala keluarga’ (pernah diketahui sebuah pride yang beranggotakan 30 ekor singa). Tak jarang pula, satu pride dikepalai 2 singa jantan atau lebih (diistilahkan dengan “koalisi”) yang masih memiliki hubungan kekerabatan sangat dekat. Namun ‘koalisi’ ini biasanya tak akan bertahan lama. Saat seekor pejantan mencapai kematangan seksual, ia akan menjadi dominan dalam rangka menyingkirkan pejantan yang lain.
Menurut tradisi singa, jika dalam sebuah pride terdapat satu atau beberapa anak jantan yang beranjak dewasa, maka mereka ‘diharuskan’ keluar dari pride itu untuk membentuk pride-nya sendiri. Biasanya, singa-singa jantan yang ‘terusir’ ini akan berkelana selama beberapa waktu, sambil mempersiapkan ‘fisik dan mental’ mereka, sampai mereka siap untuk menantang dan bertarung habis-habisan dengan singa jantan lain untuk merebut pride-nya. (Inilah versi harfiah dari Pride Fighting Championship, he… he… he…)
Pada masa-masa sebelum dan sesudah perang perebutan pride inilah, akan dijumpai singa-singa jantan dewasa yang tak berada dalam sebuah pride, baik singa pengelana yang akan merebut kekuasaan atau singa pecundang yang tergusur dari tahtanya. Pada periode ini, mereka tertuntut untuk bisa berburu dan mencari makan sendiri. Di lain pihak, fisik yang besar dan berat, serta (kebanyakan memiliki) surai yang lebat, menjadi hambatan bagi singa-singa jantan ini untuk gesit berburu dengan metode reguler: “kejar dan tangkap”. Belum lagi seekor singa jantan yang turun tahta juga terkendala kondisi fisik karena faktor usia atau cedera serius. Maka, pada saat-saat seperi ini, singa jantan akan menjadi semakin agresif , buas, dan cenderung oportunis. Untuk mengisi perutnya, tanpa ‘malu-malu’ mereka akan merampas hasil buruan predator lain, mengkonsumsi bangkai, atau menyerang bayi-bayi binatang dan mangsa lain yang mudah ditangkap. Dan celakanya, di mata mereka, manusia termasuk ‘mangsa yang mudah dan relatif tanpa perlawanan berarti’.
Nah, sangat mungkin, insiden Tsavo di atas terjadi dalam suasana pra-pasca ‘pemindahan kekoeasaan dan lain-lain’ tersebut.
(Bersambung ke Man-Eaters #03, In Syâ' Allâh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar