Minggu, 27 November 2011

9 Worst Man-Eaters #03 - TARIAN MAUT LEOPARD INDIA

Saudara-saudara, mari sejenak kita tinggalkan Afrika dan kembali mengunjungi India, salah satu negeri eksotik di Asia. Kali ini saya akan memperkenalkan dua spesies predator yang masih berkerabat dengan singa, alias sama-sama macan, namun dengan tampilan fisik yang lebih ‘fashionable’, yakni harimau dan leopard. Sebelum insiden serangan beruang sloth di Maysore, kedua jenis macan itu lebih dahulu telah menorehkan tinta darah paling merah dalam lembaran sejarah kontak binatang-manusia di India dan sekitarnya pada abad XIX dan awal abad XX.

Baiklah, saya mulai dari macan pertama, yaitu leopard India (Panthera pardus fusca).

Yang paling legendaris dari berbagai kasus serangan leopard terhadap manusia, khususnya di India, adalah serangan yang terjadi pada tahun 1910, oleh seekor leopard jantan asal Kumaon, daerah pegunungan di bagian Utara India. Diketahui bahwa leopard ini paling aktif ‘berburu’ di Provinsi Panar. Keganasan dan kebrutalannya telah menyebabkan korban tewas sebanyak 400 orang!

Sebelumnya, pada kurun 1857-1867, juga pernah terjadi serangan seekor leopard. Kebrutalan macan tutul berjuluk “Pemakan Manusia dari Kahani” itu tercatat menewaskan 200 orang. Sayangnya, saya belum menemukan data-data yang menjelaskan secara detil insiden ini.

Lalu pada kurun 1918 dan 1926 di Rudraprayag, India, sekitar 125 orang tewas oleh serangan seekor leopard (yang belakang diduga kuat terlepas dari sebuah Menagerie). Leopard ‘iseng’ ini membuntuti dan membantai para peziarah yang tengah menuju sebuah kuil Hindu di India Utara.

Pada akhirnya, kebanyakan pemangsa manusia selalu berbagi nasib yang sama, tewas di ujung senjata manusia. Adalah seorang pemburu terkenal sekaligus pejuang konservasi alam, Jim Corbett (1875-1955), yang berhasil menghentikan angkara murka leopard Panar maupun leopard Rudraprayag.

KOMENTAR SAYA: Di antara keluarga panthera, leopard adalah yang terkecil ukuran tubuhnya, namun tak kurang mematikan daripada para kerabatnya. Bahkan seorang pemburu profesional bernama John Taylor (1904–1969) pernah menyatakan bahwa jika ukuran seekor leopard menyamai ukuran singa, itu akan membuatnya sepuluh kali lebih berbahaya. Kenneth Anderson, penulis Man-Eaters and Jungle Killers dan pemburu profesional yang sukses menghentikan aksi beruang Maysore, menyatakan bahwa justru karena ukuran fisiknya itulah, leopard lebih menakutkan daripada harimau. Dengan postur seperti itu, leopard bisa mengintai dari tempat-tempat tersembunyi yang tidak muat untuk seekor harimau. Karakternya yang berani sekaligus licik, dipadukan dengan kemampuannya untuk menyelinap layaknya siluman, membuat leopard menjadi tak tertandingi.

Inilah mungkin, kenapa para harimau, sebuas apapun, jarang berani menyerang masuk ke pemukiman padat penduduk. Berbeda dengan leopard, yang dikenal suka nekad dan berani mengamuk memasuki perkampungan.

Di India secara khusus, leopard masih menyebar teror. Di tahun 2011 ini saja, yang saya tahu, telah terjadi dua kali serangan. Pertama, pada Januari 2011. Seekor leopard belusukan ke desa Malgadh, mengamuk dan melukai setidaknya 4 orang penduduk dan seorang polisi hutan, sebelum akhirnya ditangkap oleh tim dari Gir Fondation di Taman Indroda.

Lalu, pada 19 Juli 2011 yang lalu, giliran desa Prakash Nagar, 600 km. dari Kalkuta, mendapat ‘kunjungan kehormatan’. Seekor leopard berhasil melukai 6 penduduk, seorang polisi, dan 4 orang jagawana. Macan cantik ini akhirnya bisa ditangkap, dan beberapa waktu kemudian ia mati karena cedera oleh pisau dan pentungan.

Dengan kecantikan kulit dan keganasannya, leopard mungkin dapat menyatukan dua gelar sekaligus: The Beauty and The Beast!

(Bersambung ke Man-Eaters # 02, In Syâ' Allâh)

Rabu, 16 November 2011

9 Worst Man-Eaters #04 - THE GHOST AND THE DARKNESS

Amerika, Asia dan Eropa telah kita jelajahi. Saatnya sekarang kita berkunjung ke benua hitam Afrika, rumah dari banyak predator tangguh dan hebat.

Di daratan, tak diragukan lagi, bahwa predator teratas dan paling disegani adalah singa. Hampir semua binatang di Afrika, mulai dari yang berukuran kecil seperti warthog; yang sedang seperti antelop dan zebra; sampai yang besar semacam kerbau liar, kuda Nil, jerapah, bahkan gajah, adalah mangsa potensial bagi keluarga singa, dan tentu saja, tanpa mengecualikan manusia.

DR. Craig Packer, pakar biologi dari universitas Stanford dan ahli senior di Serengeti Lion Project, memperkirakan bahwa (minimal) 200 orang/tahun menjadi korban serangan binatang semacam singa, buaya, gajah, kuda Nil, dan ular. 70 dari jumlah tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab para singa. Menurutnya, antara tahun 1990-2004, singa telah menyerang 815 orang di Tanzania, 563 di antaranya tewas. Sebelumnya, pada tahun 1932, di kota Njombe, Tanzania, pernah terjadi serangan brutal sejumlah besar singa atas manusia dan menewaskan 1500 (bahkan ada yang menyebutkan 2000) orang!

Namun, secara individual, singa pemangsa manusia yang rekor jumlah korbannya paling spektakuler adalah dua bersaudara singa jantan yang menjadi hantu-hantu penyebar maut pada tahun 1889. (Belakangan diketahui bahwa keduanya adalah subspesies singa Tsavo [Panthera leo nubica]. Singa jantan Tsavo dikenal memiliki perbedaan yang cukup mencolok dibanding singa jantan lain pada umumnya, yaitu surai yang pendek dan jauh dari kata “gondrong”).

Inggris --sebagai negara penjajah saat itu—tengah memulai proyek pembangunan jembatan kereta api di atas sungai Tsavo, Kenya. Dan kedua singa tersebut ternyata ikut “ambil bagian” dalam proyek yang sama, namun dengan cara berbeda: menyerang dan membantai para pekerja!

Mulanya, kedua singa itu menyergap para pekerja dalam tenda-tenda mereka di malam hari, menyeret mereka ke hutan dan melahap mereka. Tapi dalam waktu singkat, keduanya semakin berani dan tidak lagi main sembunyi-sembunyi. Mereka langsung menyerang dan memangsa korbannya di sekitar tenda.

Keganasan, kelicikan, dan ukuran fisik para singa ini begitu luar biasa (dilaporkan bahwa masing-masing berukuran panjang 3 meter) sehingga banyak pribumi meyakini bahwa mereka bukanlah singa-singa biasa, tapi reinkarnasi dari raja-raja lokal kuno yang berusaha mengusir para penjajah (kepercayaan bahwa seorang raja yang mati akan dilahirkan kembali sebagai singa pernah sangat mengakar di kalangan pribumi Afrika Timur). Kedua singa pemakan manusia yang mendapat julukan “The Ghost” dan “The Darkness” ini membuat ratusan pekerja begitu takut sehingga mereka memutuskan lari keluar dari Tsavo. Pembangunan jalur kereta api itu pun macet, karena tak seorang pun rela hati menjadi korban berikutnya.

Akhirnya, Letnan Kolonel John Henry Patterson (1867-1947), pimpinan dan penanggung jawab proyek pembangunan jalur kereta api itu, memutuskan bahwa satu-satunya solusi untuk mengakhiri mimpi buruk ini adalah dengan membunuh kedua pemangsa manusia tersebut. Dan pada 9 Desember 1898, Patterson berhasil melukai salah satu dari kedua singa itu dengan sebutir peluru kaliber 303. Sang singa berhasil lolos, lalu malamnya ia kembali dan menguntit Patterson yang masih terus memburunya. Berkali-kali Patterson menembak singa itu, namun hasilnya baru diketahui setelah malam berganti siang. Singa itu ditemukan sudah tak bernyawa.

20 hari kemudian, dia berhadapan langsung dengan singa kedua. Patterson menghadiahinya lima tembakan, namun singa ini benar-benar tangguh. Ia bangkit kembali dan menyerang Patterson. Patterson nyaris menjadi salah satu daftar korban sang singa. Pria itu kembali memberondongnya. Sang singa akhirnya tumbang tak bernyawa dengan dua peluru bersarang di dadanya dan sebutir lagi menembus kepalanya.

Selama proses perburuannya, Patterson juga menemukan gua sarang kedua singa itu. Di dalamnya ia menemukan banyak potongan tubuh manusia, potongan pakaian dan berbagai perlengkapan. Hingga kini, gua itu tetap lestari. Dan meskipun banyak tulang manusia yang digali dan ditemukan, namun dipercaya, bahwa di balik tanah lembab dan relung-relung gua yang gelap, sisa-sisanya masih tetap ada.

Sampai sekarang, tak ada yang bisa memastikan jumlah korban keganasan “The Ghost” dan “The Darkness” ini. Patterson mengklaim bahwa kedua singa itu telah menewaskan 135 orang. Beberapa ahli menyatakan, bahwa yang dimakan ‘hanya’ sekitar 35 korban. Penelitian terbaru, yang dilakukan oleh Tom Gnoske dan Julian Kerbis Peterhansa pada 2001 dan dipublikasikan dalam The Journal of the East African Natural History Society, mengindikasikan bahwa sangat mungkin korban tewas melampaui angka 100. Walau bagaimanapun, antara “membunuh saja” dengan “membunuh dan memakan” tentu berbeda. Pernyataan bahwa korban yang dimakan adalah 35 tidak berarti bahwa kedua singa Tsavo ini tidak membunuh lebih banyak orang yang lain.

Pada 1924, setelah lebih 25 tahun menjadi karpet penghias lantai Patterson, kulit kedua singa ini dijual ke Museum Chicago. Dengan taxidermis (seni mengawetkan binatang), kedua singa itu direkonstruksi dan sampai sekarang masih terpajang di museum tersebut. Konon, dalam rangka mengembalikan “Sang Hantu dan Sang Kegelapan” ke Tsavo, Pemerintah Kenya berminat membangun sebuah museum yang didedikasikan untuk singa-singa ini. Tapi, Stephen Hopkins, seorang sutradara kelahiran Jamaika, lebih dulu ‘menghidupkan’ singa-singa ini pada 1996 lewat film berjudul “The Ghost and the Darkness” dan melibatkan aktor watak kawakan Michael Douglas dan Val Kilmer.

KOMENTAR SAYA: Singa, bersama harimau, jaguar dan leopard, adalah keluarga kucing paling besar yang termasuk dalam jenis panthera. Namun singa memiliki ‘gaya hidup’ yang unik dan berbeda dari ketiga saudaranya. Jika ‘kucing’ lain pada umumnya ‘makan, makan sendiri; tidur pun aku sendiri’, maka singa lebih menyukai hidup dalam sebuah ‘organisasi sosial’; sebuah kelompok yang dikenal dengan istilah “pride”. Di setiap habitat singa seperti di Afrika dan sebagian Asia, lazim terdapat beberapa pride yang memiliki wilayah kekuasaannya masing-masing dan dijaga secara ketat. Memasuki wilayah kekuasaan pride lain dapat memicu timbulnya perang terbuka.

Dalam sebuah pride, singa jantan dewasa bertugas sebagai raja, pelindung pride dan tukang bikin anak, sementara tugas berburu dan memberi makan anggota pride sepenuhnya menjadi tanggung jawab para betina (walaupun beberapa singa jantan muda –bahkan sang ketua juga- sesekali ikut berpartisipasi aktif dalam perburuan, terutama jika sasarannya berukuran besar).

Satu pride umumnya beranggotakan belasan bahkan sampai puluhan anggota yang terdiri dari singa-singa betina, anak-anak mereka, dan seekor jantan dewasa sebagai ‘kepala keluarga’ (pernah diketahui sebuah pride yang beranggotakan 30 ekor singa). Tak jarang pula, satu pride dikepalai 2 singa jantan atau lebih (diistilahkan dengan “koalisi”) yang masih memiliki hubungan kekerabatan sangat dekat. Namun ‘koalisi’ ini biasanya tak akan bertahan lama. Saat seekor pejantan mencapai kematangan seksual, ia akan menjadi dominan dalam rangka menyingkirkan pejantan yang lain.

Menurut tradisi singa, jika dalam sebuah pride terdapat satu atau beberapa anak jantan yang beranjak dewasa, maka mereka ‘diharuskan’ keluar dari pride itu untuk membentuk pride-nya sendiri. Biasanya, singa-singa jantan yang ‘terusir’ ini akan berkelana selama beberapa waktu, sambil mempersiapkan ‘fisik dan mental’ mereka, sampai mereka siap untuk menantang dan bertarung habis-habisan dengan singa jantan lain untuk merebut pride-nya. (Inilah versi harfiah dari Pride Fighting Championship, he… he… he…)

Pada masa-masa sebelum dan sesudah perang perebutan pride inilah, akan dijumpai singa-singa jantan dewasa yang tak berada dalam sebuah pride, baik singa pengelana yang akan merebut kekuasaan atau singa pecundang yang tergusur dari tahtanya. Pada periode ini, mereka tertuntut untuk bisa berburu dan mencari makan sendiri. Di lain pihak, fisik yang besar dan berat, serta (kebanyakan memiliki) surai yang lebat, menjadi hambatan bagi singa-singa jantan ini untuk gesit berburu dengan metode reguler: “kejar dan tangkap”. Belum lagi seekor singa jantan yang turun tahta juga terkendala kondisi fisik karena faktor usia atau cedera serius. Maka, pada saat-saat seperi ini, singa jantan akan menjadi semakin agresif , buas, dan cenderung oportunis. Untuk mengisi perutnya, tanpa ‘malu-malu’ mereka akan merampas hasil buruan predator lain, mengkonsumsi bangkai, atau menyerang bayi-bayi binatang dan mangsa lain yang mudah ditangkap. Dan celakanya, di mata mereka, manusia termasuk ‘mangsa yang mudah dan relatif tanpa perlawanan berarti’.

Nah, sangat mungkin, insiden Tsavo di atas terjadi dalam suasana pra-pasca ‘pemindahan kekoeasaan dan lain-lain’ tersebut.

(Bersambung ke Man-Eaters #03, In Syâ' Allâh)

Selasa, 15 November 2011

9 Worst Man-Eaters #05 - SI BUAS DARI GÉVAUDAN

Dari sekian banyak pemangsa manusia tersadis dalam catatan sejarah, barangkali La Bête du Gévaudan (The Beast of Gévaudan – Si Buas Dari Gévaudan) inilah yang paling misterius; tak teridentifikasi dengan jelas spesiesnya.

Pada kurun masa 1764-1767, Propinsi Gévaudan, Prancis, tercekam dalam terror serangan makhluk buas, yang lebih suka menyerang manusia dan bahkan mengabaikan mangsa lain semacam binatang ternak maupun hewan domestik lainnya. Binatang ini menyerang 200 orang lebih. Dari 113 korban tewas, 98 diantaranya dimakan.

Mereka yang beruntung masih hidup setelah bertemu dengannya, memiki perspektif berbeda dalam mendeskripsikan si buas ini. Ada yang dengan ringkas menyebutnya sebagai “iblis”. Ada pula yang menganggapnya sebagai “Loup Garou“ (werewolf – manusia serigala). Beberapa, dengan sedikit lebih detail, menggambarkannya sebagai binatang serupa serigala berukuran besar, berwarna merah dan menebarkan aroma tak sedap.

Selain buas, pembunuh ini juga cerdik. Berkali-kali dia lolos dari sergapan para pemburu bahkan sepasukan tentara yang dikerahkan untuk membasminya. Namun, sepandai-pandai tupai, eh… salah; sepandai-pandai si buas ini menghindar, akhirnya ia jatuh juga. Pada 1767, seorang pemburu bernama Jean Chastel (1708 -1790) berhasil menamatkan riwayatnya, konon, dengan menggunakan peluru perak. Setelah membuka perut makhluk itu, Chastel menemukan sisa-sisa tubuh manusia korban terakhirnya.

Walaupun semua laporan mengarah pada serigala, namun tak satupun yang sesuai dengan ciri-ciri serigala Eropa yang umum dikenal pada masa itu. Banyak ahli percaya bahwa si buas ini sangat mungkin adalah hyena yang barangkali terlepas dari Menagerie (sejenis tempat penangkaran binatang yang populer di Prancis pada abad ke-17, dan merupakan salah satu cikal bakal dari apa yang kita kenal sebagai “Kebun Binatang”). Menurut mereka, deskripsi “lebih besar dari serigala, berwarna merah dan berbau tidak sedap” lebih cocok dialamatkan pada hyena, sejenis anjing liar yang banyak hidup di dataran Afrika dan sebagian wilayah Asia.

Namun demikian, tetap saja belum ada yang bisa memastikan, binatang apa sebenarnya si Buas ini. Memang, kisah dramatis tentang perburuannya pernah difilmkan oleh Christiophe Gans lewat “Brotherhood of The Wolf” (2001) dengan Mark Dacascos sebagai salah satu pemeran. Namun, disamping tidak tampil sebagai ‘binatang’ film utama (tak seperti hiu dalam JAWS, misalnya), si buas ini juga tak jelas bentuknya; serigala bukan, hyena-pun tidak. Tapi, jika hanya sebagai tambahan bahan bagi kita untuk membayangkan kebuasannya, film garapan sutradara asal Perancis ini cukup lumayan. (eh, kok jadi review film ya? Hiks…)

KOMENTAR SAYA: Asumsi para ahli bahwa si Buas dari Gévaudan adalah hyena (dubuk) rasanya lebih logis. Apalagi dengan adanya catatan sejarah bahwa hyena --terutama spesies hyena tutul (Crocuta crocuta) dan hyena belang (Hyaena hyaena)-- juga dikenal sebagai pemangsa manusia yang potensial. Sekedar illustrasi, pada kurun 1956-1961, serangan hyena di Republik Malawi, tepatnya di sepanjang dataran Phalombe sampai ke Pegunungan Michesi, telah menewaskan 24 orang. Dan pada 1962, sepasang hyena yang masing-masing berbobot 77 kg. dan 72 kg. bertanggung jawab atas tewasnya 27 orang di Mlanje, Malawi.

Walaupun hyena sering dianggap sebagai ‘pemulung pengecut’ di antara sesama predator di Afrika (karena kesukaannya memunguti bangkai, mencuri, bahkan -dengan mengandalkan ‘keroyokan’- merampas hasil buruan pemangsa lain), namun ia sebenarnya adalah salah satu predator kuat. Dengan modal rahang berkekuatan 800-1000 psi., hyena (khususnya hyena tutul) menjadi predator darat dengan rahang penghancur tulang terkuat, yang membuatnya dikenal sebagai musuh bebuyutan dari predator darat paling berkuasa di Afrika, singa.

Selain itu, di antara sesama ‘preman pasar daging’ di Afrika, hyena barangkali adalah predator paling ‘tidak berperasaan’. Setelah berhasil menjatuhkan mangsanya, singa dan predator sejenisnya lebih dulu akan mengincar dan menerkam bagian leher atau tenggorokan si mangsa lalu menggigit kuat-kuat bagian itu untuk memutus jalur pernafasan. Setelah si mangsa benar-benar mati, barulah mereka memakannya. Sedangkan hyena tak mau direpotkan dengan prosedur berbelit seperti itu. Saat menyerang, ia akan menancapkan taringnya di bagian manapun tubuh korbannya, lalu merengkah bagian itu, mencabiknya, dan memakannya, saat si korban masih hidup. Pendeknya, jika kelompok macan berpedoman pada panduan: “bunuh dulu, baru makan”, maka hyena merasa cukup dengan: “makan dulu, Bro. Mau mati mau ga terserah!”

Adapun pemicu timbulnya serangan si buas ini, dengan asumsi bahwa itu memang hyena yang terlepas dari menagerie, sangat mungkin adalah karena ia salah masuk alam. Ia tiba-tiba berada di sebuah dunia yang begitu asing dan dikelilingi pula oleh makhluk asing. Mulanya ia mungkin hanya panik. Paniknya seekor binatang tentu tidak disalurkan dalam bentuk teriakan-teriakan histeris, tapi lari menghindar atau malah menyerang manusia yang –menurutnya—mengancam keselamatannya. Dalam hal ini, nampaknya naluri sang hyena sebagai predator memberinya informasi, bahwa makhluk-makhluk asing dihadapannya tidak saja bisa ia kalahkan, namun juga bisa menjadi menu makan malamnya.

(Bersambung ke Man-Eaters #04, In Syâ' Allâh)

Sabtu, 12 November 2011

9 Worst Man-Eaters #06 - BERUANG BRUTAL DARI MYSORE

Salah satu jenis beruang hitam yang habitatnya hanya ada di India dan Srilanka adalah beruang sloth (beruang ‘pemalas’ - Ursus ursinus). Tak seperti namanya, beruang ini tercatat sebagai salah satu beruang paling agresif dan dilaporkan banyak menyerang manusia di India, rata-rata satu kali serangan per minggu, dan menyebabkan banyak korban tewas maupun luka-luka. Meski demikian, para beruang ini amat jarang memakan daging menusia, dan lebih memilih mengkonsumsi buah-buahan, madu dan rayap. Namun, pada kurun 1950-an, di Mysore, sebuah kota dalam wilayah Negara Bagian Karnataka, India, seekor beruang sloth mendadak menjadi terkenal sebagai spesialis pemangsa manusia.

Ada banyak versi tentang asal-usul beruang pembunuh Maysore ini. Beberapa lebih menyerupai dongeng dengan kisah roman a la film King Kong (1933). Dikisahkan, bahwa seekor beruang sloth jantan menculik seorang gadis desa untuk ia jadikan pasangannya (alamaaaaaaak!). Gadis itu berhasil diselamatkan penduduk. Si Beruang menjadi murka. Ia membantai sejumlah penduduk sebagai aksi balas dendam.

Versi lain, yang relatif ‘normal’, menyatakan bahwa beruang ini adalah betina yang mengamuk membunuhi orang-orang yang telah membunuh anaknya. Namun menurut para ahli, beruang ini barangkali terluka oleh ulah tangan manusia, lalu menjadi sangat agresif.

Apapun, yang jelas, aksi tunggal beruang Mysore ini bertanggung jawab atas insiden penyerangan yang menyebabkan 12 orang tewas (3 diantaranya dimakan) dan lebih dari 20 orang lainnya terluka parah (bahkan beberapa ada yang kehilangan anggota badan)!

Melalui tiga kali usaha perburuan, seorang penulis sekaligus pemburu ulung, Kenneth Anderson (1910–1974), berhasil menewaskan beruang ini, lalu menuliskan kisah berdarah itu dalam bukunya, Man-Eaters and Jungle Killers (1957), pada bab “The Black Bear of Mysore”.

KOMENTAR SAYA: Fisik beruang sloth, sebagaimana umumnya keluarga beruang hitam, tidaklah sebesar beruang kutub dan beruang cokelat. Dewasanya ‘hanya’ berukuran panjang 1,9 meter dan bobot sekitar 100 kg. Namun jika sedang marah, taring dan cakarnya bisa menjadi ancaman serius. Insiden di Mysore bisa menjadi peringatan nyata.

‘Balas dendam’ memang cukup bagus untuk menjelaskan latar-belakang terjadinya insiden tersebut (daripada menceritakan romantisme model binatang buas). Intinya, yang berperan penting adalah unsur ‘ketidak harmonisan antar tetangga’ dalam sebuah habitat yang relatif berdekatan.

Analisa lain yang bisa saya kemukakan adalah, dimungkinkan bahwa tingginya intensitas konflik manusia dengan beruang sloth (termasuk di Mysore) merupakan ekses dari tradisi kuno bernama “Tarian Beruang” (semacam topeng monyet di Indonesia) yang telah dikenal sejak abad ke-16. Di beberapa daerah di India, tradisi ini banyak diminati dan cukup menjanjikan secara ekonomis. Orang-orang mulai menangkapi beruang-beruang muda untuk dilatih sebagai ‘penari’. Barangkali, sekali lagi: barangkali, ada proses pelatihan yang semena-mena dan tanpa mengindahkan ‘perasaan’ beruang-beruang tersebut. Salah satu dari mereka lalu memutuskan untuk memberontak dan menunjukkan bahwa “beruang juga predator”.

Belakangan, tradisi yang oleh para pencinta binatang dan pejuang pelestarian alam dianggap kejam ini mulai dihilangkan. Beberapa gerakan perlindungan binatang semacam International Animal Rescue (IAR) dan Wildlife SOS (WSOS) Cabang India sejak 2006 gencar mengkampanyekan penghapusan tradisi tersebut. Mereka bekerjasama dengan pemerintah India untuk mempertegas pemberlakuan undang-undang larangan penangkapan dan jual-beli beruang sloth. Pada 2009 lalu, pejabat berwenang di India memastikan bahwa tak ada lagi beruang sloth yang masih aktif sebagai ‘penari jalanan’.

(Bersambung ke Man-Eaters # 05, In Syâ' Allâh)

Minggu, 06 November 2011

9 Worst Man-Eaters #07 - KESAGAKE: MONSTER JEPANG SEBENARNYA

Saat mendengar kata “monster” dan “Jepang”, barangkali dalam benak kita akan segera tergambar Gojira; monster fiktif yang menteror layar-layar bioskop di Jepang sejak 1950-an; atau puluhan monster lain yang biasa menjadi lawan para superhero Jepang semacam Megaloman dan Ultraman. Namun monster Jepang yang sebenarnya dan yang paling mematikan adalah seekor beruang cokelat (mengingat insiden ini terjadi di Jepang, maka kemungkina besar yang dimaksud adalah Beruang Cokelat Amur - Ursus arctos lasiotus). Ia menjadi momok paling menakutkan di Hokkaido pada kisaran Desember 1915.

Pada masa itu, desa Sankebetsu, yang merupakan salah satu desa dalam wilayah Hokkaido, Jepang, adalah sebuah desa yang luas namun dengan jumlah penduduk yang relatif kecil. Hutan di sekitar desa itu adalah habitat bagi beruang cokelat, jenis beruang terbesar kedua setelah beruang kutub. Salah satu beruang tersebut, yang sangat dikenal oleh warga desa, adalah jantan berukuran besar yang mereka panggil dengan nama Kesagake. Kesagake acapkali turun gunung dan memasuki desa Sankebetsu untuk menjarah hasil panen jagung penduduk. Dianggap sebagai pengganggu, Kesagake pernah ditembak oleh 2 penduduk, membuatnya lari ke gunung dalam keadaan cedera. Penduduk desa mengira, mereka telah membuat beruang itu belajar takut pada manusia dan menjauh dari ladang. Tapi mereka salah!

Pada 9 Desember 1915, si Bola Bulu Cokelat Kesagake muncul lagi, dan mendobrak masuk ke sebuah rumah keluarga petani bernama Ota. Di rumah itu hanya ada Abe Mayu, isteri Ota, dan anak mereka yang masih bayi. Setelah membantai si bayi, Kesagake beralih menyerang si Ibu. Wanita itu mulanya melawan dengan melempari si beruang dengan obor, namun sia –sia belaka. Kesagake menyeretnya masuk hutan. Saat penduduk tiba di rumah itu, mereka hanya menemukan darah membasahi dinding dan lantai. 30 orang penduduk mengejar Kesagake ke hutan dan berhasil menyusulnya. Mereka juga berhasil menembak beruang itu, namun gagal membunuhnya. Pada akhirnya, terpandam dibalik timbunan salju di bawah sebatang cemara, mereka menemukan jenazah, tepatnya, sisa jenazah Abe Mayu, yang hanya berupa potongan kepala dan bagian kaki wanita malang itu (sebagaimana umumnya beruang menyimpan sisa buruannya untuk disantap lain waktu).
Nikmatnya daging manusia membuat Kesagake ketagihan. Dia kembali ‘berkunjung’ ke pertanian Ota. Penduduk yang telah bersiaga segera mengejarnya. Namun mereka terkecoh. Kesagake menyelinap kembali ke perkampungan yang kini tak terjaga itu. Ia menyerang rumah keluarga Miyake dan melukai semua penghuniya. Beberapa orang memang dapat menyelamatkan diri, namun, 2 orang anak kecil dan seorang wanita hamil terbunuh. Saat penduduk desa menyadari kesalahan mereka dan bergegas kembali ke desa, mereka hanya menemukan mayat-mayat bergelimpangan berkubang darah.

Hanya dalam 2 hari, Kesagake telah membantai enam orang!

Seorang pemburu terkenal spesialis beruang, Yamamoto Heikichi, didatangkan. Mulanya ia menolak, karena, menurutnya, beruang yang didentifikasi penduduk sebagai Kesagake telah terbunuh sebelum penyerangan di Sankebetsu. Namun penduduk bergeming. Si pemburu pun bersedia ikut serta memburu si beruang. Dan dialah yang akhirnya berhasil membunuh Kesagake. Dari bangkainya, diketahui bahwa beruang itu memang berukuran monster: panjang nyaris 3 meter dan berbobot 380 kg.! Dari perutnya, dikeluarkan sisa-sisa tubuh manusia.

Horror ini belum sepenuhnya berakhir. Seorang korban selamat akhirnya meninggal karena cedera yang terlalu parah. Para penduduk pun memilih meninggalkan desa Sankebetsu dan menjadikan desa itu sebagai kota hantu. Bahkan sampai saat inipun, insiden Sankebetsu tetap tercatat sebagai serangan binatang buas paling brutal dalam sejarah Jepang. Dan novel berjudul “The Bear Wind” (1965) karya Yukio Togawa serta “The Bear Storm” (1977) karya Akira Yoshimura mengabadikan insiden tragis ini.

KOMENTAR SAYA: Secara fisik, beruang cokelat memang yang terbesar di antara para beruang; kedua di bawah beruang kutub (Ursus maritimus). Hampir semua jenis beruang adalah omnivora (kecuali beruang kutub yang diyakini merupakan karnivora tulen). Beberapa jenis beruang (khususnya yang berukuran kecil) malah lebih memilih buah-buahan dan tumbuhan untuk dikonsumsi walaupun tentu mereka tak menolak disuguhi daging. Sedangkan beruang-beruang yang berukuran lebih besar lebih dikenal sebagai pemburu. Beruang kutub terkenal dengan kesukaannya memangsa anjing laut, sementara beruang cokelat (termasuk beruang grizzly) menyukai ikan salmon, rusa dan babi hutan.



Berdekatannya habitat beruang dengan hunian manusia biasanya menjadi pemicu munculnya kasus serangan beruang atas manusia. Di beberapa daerah di Amerika Utara, beruang-beruang yang berkeliaran di jalan-jalan raya dan halaman rumah merupakan pemandangan yang biasa. Para beruang ini suka sekali mengaduk-ngaduk tong sampah. Namun di tempat itu malah amat jarang terjadi serangan fatal; manusia dan beruang di sana sudah bisa menerima kehadiran masing-masing dan cukup ada rasa saling hormat di antara mereka. Kalupun ada yang merasa terganggu, penduduk tinggal menghubungi sebuah unit khusus penanganan binatang liar. Merekalah akan menangani ‘pengunjung’ yang tak dikehendaki itu dengan baik tanpa harus ‘menyinggung perasaan’nya.

Nah, kasus di Sankebetsu bisa dijadikan illustrasi dari resiko hilangnya rasa saling menghormati itu.

Selain itu, nampaknya peristiwa itu terjadi pada musim dingin. Walaupun beruang cokelat bukanlah jenis beruang yang berhibernasi (tidur panjang) secara penuh di musim dingin, namun di musim ini mereka lebih membatasi aktifitas dan memilih menyembunyikan diri di tempat-tempat terlindung semacam gua, ceruk gunung dan semacamnya. Kecuali saat benar-benar lapar, barulah beruang-beruang ini bergentayangan. Dan Kesagake barangkali adalah salah satunya.

Dari situ kita bisa belajar, bahwa melukai seekor beruang yang kelaparan bukanlah tindakan bijaksana.

(Bersambung ke Man-Eaters # 06, In Syâ' Allâh)