Selesai menyimak album ini, komentar saya adalah: Nampaknya KD tidak tahu bagaimana cara membuat album yang buruk! (Ah, just kidding. Tentu saja ia bisa. Tapi berharap saja itu tidak terjadi). Mungkin komentar tadi agak berlebihan. Tapi, that’s the fact! Mulai track pembuka, “Spare This Life” (dengan balutan keyboards dan kombinasi sound effects yang mengingatkan kita pada film-film horror bersetting klasik semacam Bram Stocker’s Dracula dan Sleepy Hollow) sampai track penutup, “Sorry, Dear…”, semakin menunjukkan eksistensi band KD sebagai band metal kugiran yang layak jadi panutan. Sayatan gitar Andy LaRocque (sebagai satu-satunya musisi yang masih ‘setia’ menemani KD) seolah mengumumkan bahwa ia pantas disejajarkan dengan gitaris-gitaris metal papan atas layaknya Steve Vai atau Kirk Hammett-nya Metallica (Saya suka sekali interlude awal lagu “The Crypt” oleh Andy; bernuansa padang pasir tapi tetap berbau magis). Tapi sudahlah, penilaian Anda mungkin berbeda, that’s natural!
Anyway, penggarapan album ini dimulai setelah KD menyelesaikan “Follow The Tour (Promo tour-nya House of God)” dan ikutan proyek-album keroyokan yang dimotori Dave Grohl (Ex-drummer ‘mendiang’ Nirvana dan pimpinan kelompok Foo Fighters). Tepatnya, Abigail II: The Revenge mulai direkam pada 15 Mei 2001 di Nomad Recording Studio, Carrollton, Dallas, Texas, sampai September 2001 dan baru dirilis pada 2002.
Lagi-lagi bongkar-pasang personel mengawali lahirnya pembuatan album ini. Dimulai dengan di’PHK’-nya David Harbour. Alasannya sederhana namun cukup prinsipil. Basis bertampang gahar dan berewokan ini punya kebiasaan jelek di atas panggung: sering menantang penonton untuk bertarung! (kenapa manusia satu ini tidak ikutan Pride atau UFC saja, ya?). Untuk mengisi posisinya sebagai basis, masuklah Hal Patino yang memang pernah menjadi anggota KD dan ikut menggarap “Them” (1988), The Dark Side (1988), Conspiracy (1989) dan The Eye (1990). Lalu pada 8 Nopember 2000, John Luke Hebert (Drummer) hengkang dan posisinya diganti oleh Matt Thompson. Sedangkan pada 6 Januari 2001, giliran Glen Drover (gitaris) yang cabut. Dan Mike Wead menggantikannya. Mike Wead, sebagaimana Hal Patino, tidak merasa asing dengan ‘gaya’ KD, karena ia, di samping saat ini sebagai gitaris Mercyful Fate, juga pernah bersama KD pada masa antara The Eye dan The Spider’s Lullabye (1995). Sekedar catatan: di akhir lagu “Spirits”, Kol Marshall, yang ikut membidani lahirnya Abigail II: The Revenge, ikut meyumbangkan permainan gitarnya, mengiringi theme solo¬nya Andy.
Dari segi isi, album ini jelas merupakan sekuel dari Abigail (1987). Namun Abigail II: The Revenge terasa lebih ‘brutal’ dan ‘sadis’ (Coba perhatikan bagaimana pembalasan dendam Abigail pada Jonathan dalam lagu “The Wheelchair”). Dan, untuk menyegarkan ingatan kita, baiknya kita flashback dengan menyimak tahun-tahun perjalanan 'berdarah' Abigail Lafey yang dimulai sejak Abigail (1987)...
***
1777 : Isteri Pangeran De Lafey, Ny. De Lafey berselingkuh dengan seorang pelayan keluarga Sang Pengeran sendiri, Gregory O’Brian. Akibat perselingkuhan itu, si nyonya hamil. Pangeran baru mengetahui hal itu saat isterinya telah hamil 9 bulan. Sang Pangerang tentu saja murka besar. Ia tidak ingin seorang anak haram mewarisi rumah besar miliknya beserta seluruh harta kekayaanya. Maka pada suatu hari, tanggal 7 Juli (The 7th Day Of July 1777), ia bunuh isterinya dengan mendorong wanita itu dari atas puncak tangga menurun ke sebuah ruang bawah tanah. Nyonya De Lafey berteriak keras saat tubuhnya yang tengah hamil tua itu menggelinding jatuh dan baru berhenti ketika kepalanya menghantam lantai beton dengan keras. Wanita itupun tewas seketika dengan leher patah. Bersamaan dengan itu, janinnya terlahir, dalam keadaan mati. Oleh Sang Pangeran, janin itu diberi nama Abigail, lalu jasad janin itu diawetkan dan dikuburkan di sebuah kuburan yang dibuatnya di ruang bawah tanah itu juga. Sedang mayat si Nyonya dikuburkan dalam sebuah lubang di samping kuburan Abigail, lalu bagian atasnya dibeton kembali sehingga yang terlihat hanya ada satu kuburan di tempat itu; kuburan Abigail…
1780 : Gregory mengawini Liz Moore dan berputra tunggal: James O’Brian.
1782 : Pangeran De Lafey menikah lagi dengan Maureen Banks.
1786 : Maureen, dari perkawinanya dengan Pangeran De Lafey, melahirkan seorang putri: Julie Lafey.
1811 : Pengeran De Lafey meninggal dunia.
1818 : James O’Brian menjadi pimpinan 7 Penunggang Kuda Hitam. Pada tahun ini pula ia berselingkuh dengan Julie Lafey, putri mendiang Pangeran De Lafey. Dari perselingkuhan ini lahirlah Jonathan Lafey.
1845 : Jonathan mengawini Miriam Nathias. Pasangan ini kemudian memutuskan untuk pindah ke Rumah Kuno Besar warisan Pangeran De Lafey. Dan pada suatu malam, saat hujan musim panas mengguyur bumi, Jonathan dan isterinya tiba (Arrival) di rumah besar itu (A Mansion In Darkness). Sebelum sampai kerumah itu sebenarnya ia telah dihadang oleh 7 Penungang Kuda Hitam dan pimpinan mereka, James O’Brian yang juga ‘ayah’ Jonathan sendiri, memperingatkannya dengan sebuah kalimat “18 akan menjadi 9 jika kau tetap menempati rumah itu!”. Namun Jontahan yang tidak pernah mendengar riwayat berdarah rumah itu (disamping tidak tahu bahwa si lelaki berkuda adalah ‘ayah’nya), mengabaikan begitu saja peringatan yang dianggapnya membingungkan.
Dan peringatan itu benar-benar menjadi kenyataan!
Dalam rumah besar yang dipenuhi tanda2 maut (Omens) itu, Miriam (yang waktu itu berusia 18 tahun) benar-benar dirasuki roh Abigail (The Posession) yang (lahir-mati dalam usia 9 bulan, 68 tahun lalu dan kini) ingin menuntut balas. Wanita malang ini langsung hamil 9 bulan hanya dalam waktu semalam!
Untuk menghentikan upaya balas dendam Abigail (Abigail), maka atas anjuran roh kakeknya, Pangeran DeLafey (The Family Ghost), Jonathan harus membunuh Miriam dengan cara mendorong tubuhnya di tangga licin bawah tanah. Tapi malang. Abigail si Roh Jahat mengetahui rencana itu, dan bertidak lebih dahulu. Dalam keadaan dirasuki roh Abigail, Miriam mendorong Jonathan (sebagaimana dulu Pangeran De Lafey mendorong isterinya) dari puncak tangga (yang menuju ruang kuburan bawah tanah tempat Janin Abigail pertamakali dikuburkan oleh Pangeran De Lafey) hingga suaminya itu mengalami patah tulang yang parah. Dan malam itu juga Miriam meninggal bersama kelahiran kembali Abigail.
Saat Tujuh Penunggang Kuda Hitam (Black Horsemen) tiba di tempat itu, Si Bayi Abigail tengah mengunyah bagian-bagian tubuh jasad Miriam…
Oleh ketujuh penunggang kuda itu, Abigail segera dibawa ke sebuah kapel (gereja kecil) di tengah hutan lalu dipantekkan pada peti mati dengan tujuh paku perak; 6 paku untuk kedua tangan, lengan dan lutut. Sedang paku ketujuh ditancapkan tepat ke mulutnya sehingga diharapkan rohnya tidak akan pernah bangkit kembali (Funeral)…
1863 : Tahun kematian James O’Brian, tepat delapan belas tahun kelahiran kembali Abigail. Sebelum ajal menjemputnya, James , bersama kelompok 7 Penunggang Kuda Hitam, lebih dahulu melepaskan belenggu magis dengan mencabut ketujuh paku perak yang selama tujuh belas tahun menahan jasad Abigail. Lalu James membangkitkan roh si “janin terkutuk” yang sebenarnya saudari tidak sah-nya. Sebelum upacara pembebasan dilakukan, James O’Brian lebih dahulu berpidato dihadapan teman-temannya: “Abaikan bahwa apa yang akan kita kerjakan ini merupakan pelanggaran atas alam gaib. Yang kalian tahu hanyalah bahwa bocah iblis ini dikuasai roh Abigail. Kalian tidak pernah tahu bahwa ia adalah reinkarnasi dari saudari-tidak sahku yang lahir-mati. Roh Abigail bukanlah roh yang jahat, tapi bukan pula roh yang baik. Yang ingin dilakukannya hanyalah menuntut balas. Jadi, selamatkanlah kehidupan (bocah) ini (Spare This Life)! Dengan cara begini, dendamku mungkin juga akan terbalas dan Abigail akan mendapatkan kedamaian terakhirnya. Aku, O’Brian. Mari kita kerjakan!"
Dan saat roh Abigail kembali menghuni jasad ‘bocah’nya, perubahan alami pun segera berproses dengan cepat. Dilain kejap, si bocah bangkit duduk di peti matinya dalam wujud…seorang gadis berusia 18 tahun!
***
Malam itu juga, beberapa jam kemudian…
Abigail meninggalkan ‘rumahnya’, gereja kecil itu, segera setelah para Penunggang Kuda Hitam menyelamatkan dan membangkitkan rohnya. Ia kini tengah melintasi hutan, tempat kegelapan seolah hidup dan berkuasa. Lalu badai (The Storm) tiba-tiba saja datang, bergemuruh menemani kilat yang sesekali menyambar di langit kelam. Upayanya untuk mencari tempat perlindungan menuntun Abigail pada sebuah rumah kuno besar di pinggir hutan, tampak menghitam angkuh. Sekali lagi kilat menyambar. Sekejap rumah besar seolah bersinar redup. Mendadak hujan lebat tumpah ruah mengguyur bumi saat Abigail tiba di depan sebuah pintu gerbang besi berkarat yang memagari rumah, dimana di dekatnya tengah menunggu seorang bocah perempuan berusia tak lebih dari 3 tahun. Ia tersenyum pada Abigail. Sebelah tangannya tampak menjinjing sebuah lentera. Cahaya lentera yang lemah itu dibantu sinar sambaran kilat, memperlihatkan sebaris tulisan di bagian depan pintu gerbang itu. Sebuah nama : PANGERAN DE LAFEY. Tiba-tiba bocah itu melangkah ke arahnya. Abigail hendak menyingkir. Tapi si bocah lebih cepat menabraknya, dan… Abigail hanya merasakan seolah hembusan angin belaka saat tubuh bocah itu menembus tubuhnya. Ya, benar-benar menembus seolah cahaya menembus sebidang kaca. Cepat Abigail membalikkan tubuhnya. Dan bocah kecil itu telah berada di sebelah dalam pagar, yang segera dibukanya lebar-lebar, untuk Abigail. Tanpa ragu Abigail melangkah masuk.
Berada di halaman, Abigail dapat melihat lebih jelas: rumah besar itu memang masih menampakkan sisa-sisa keningratannya. Tetapi kedukaan, entah mengapa, tampak lebih dominan menyelubunginya (A Mansion In Sorrow). Perhatian Abigail beralih pada si Bocah yang tengah mendaki tangga depan menuju sebuah pintu yang terbuat dari kayu ek. Naluri Abigail menyuruhnya mengejar bocah itu. Abigail segera mengejarnya. Namun bocah itu tiba-tiba lenyap, menghilang begitu saja.
Mendadak pintu itu terbuka. Sesosok tubuh keluar. Lalu sebuah suara berat parau menyambutnya:
“Darimana saja, Nona? Kenalkan, saya Brandon Henry, pelayan Tuan Jonathan…”.
Saat berikutnya, Abigail telah mengikuti si pelayan berkepala botak dengan sebatang lilin hitam, melangkah sepanjang gang yang suram dan berliku-liku dan akhirnya tiba di sebuah kamar yang tidak kalah suramnya dengan ruangan-ruangan lain yang tadi ia lewati. Kondisi ini membuat keadaan kamar itu lebih mirip kuil. Tercium aroma kuat parfum kuno, dari beberapa helai rambut panjang dan hitam, yang dikumpulkan bersama berbagai macam perhiasan dan beberapa helai pakaian dalam salah satu dari beberapa lemari kaca. Rambut itu, terlihat redup dan mati!
“Mendekatlah, sayang…” satu suara dari arah kegelapan mengejutkan Abigail. Suara yang datang dari sesosok bayangan yang duduk di atas sebuah kursi roda. “Berdirilah di dekat perapian itu, agar aku bisa melihat wajahmu lebih jelas”. Dan saat cahaya api menerangi wajah Abigail, si bayangan mendesah tak percaya. Ia merasa, seolah Miriam bangkit dari kubur dan kini berdiri di hadapannya. “Aku Pangeran (Jonathan) De Lafey. Dan kau, siapa namamu?”
“Abigail,” jawab si gadis, setengah berbisik dan, entah mengapa, terasa mengilukan tulang.
“Ah…Bolehkah aku… engh… memanggilmu Miriam?”
“Kau boleh memanggilku apa saja. Toh, apalah artinya sebuah nama.”
Bayangan itu, yang ternyata adalah Jonathan Lafey dan kini memakai nama kebesaran mendiang kakeknya, bergerak berusaha bangkit dari kursi rodanya. Sejak mengalami patah tulang belasan tahun yang lalu, ia kini hanya mengandalkan (sebuah kursi roda atau) sebatang tongkat. Selain itu, ia juga menderita semacam alergi cahaya. Jika ada sinar yang cukup terang masuk ke rumah itu, sepasang matanya akan mengalami kebutaan sesaat. Itulah mengapa setiap jendela di rumah ini tertutup rapat oleh tirai-tirai hitam. Saat itu, dengan menggunakan tongkat untuk menopang tubuhnya, Jonathan berdiri lalu melangkah ke arah Abigail.
“Jangan bergerak, tetaplah di tempatmu”, Jonathan berkata, dan tahu-tahu lelaki itu telah berada dibelakang Abigail. Disentuhnya rambut hitam panjang gadis itu, lalu dibelainya dengan lembut. Tiba-tiba, ditariknya Kepala Abigail. Si gadis memekik kesakitan saat beberapa helai rambutnya tercabut. Jonathan seolah tidak perduli. Lelaki itu, dengan menggenggam helai-helai rambut Abigail, kini melangkah tertatih-tatih menuju ke lemari terkecil yang di bagian belakangnya tertulis: Untuk Isteriku Tercinta. Diambilnya sejumput rambut lain dari dari dalam lemari itu, rambut yang tadi sempat dilihat oleh Abigail. Lalu, oleh Jonathan, rambut yang diambilnya dari lemari tadi dibanding-bandingkannya dengan beberapa helai rambut Abigail. Hasilnya, sebuah kesimpulan yang membuat pikirannya kacau: Miriam benar-benar telah kembali. Tapi…Ah, terlalu banyak hal yang membingungkan. Dan akhirnya, pada Abigail, ia berkata perlahan : ”Aku harus beristirahat, Sayang. Kau juga”.
Malam itu, dalam kamar yang disediakan untuknya, Abigail baru saja terlena, saat ratapan derita seorang bocah, merayapi pikirannya. Ratapan seorang bocah yang kehilangan ibunya.
Abigail segera bangun dan berdiri.
Ia keluar dari kamar, lalu menuruni tangga mengikuti arah ratapan itu, menuju kegelapan. Dan gadis itu melihatnya. Si Bocah Hantu, yang pernah dijumpainya di pintu gerbang saat ia tiba bersama badai.
“Gadis kecil, siapa kau sebenarnya ?” Abigail bertanya lembut.
“Aku adalah roh saudara kembarmu, bertahun-tahun yang lalu. Akulah Si Kecil (Little One)”.
Jawaban itu mengembalikan segenap ingatan Abigail, dan menyadarkannya akan satu hal, ia harus tinggal di rumah itu, untuk menyelamatkan Si Kecil dan membebaskan jiwanya…
***
Esok harinya, tepat tengah hari, Henry membangunkan Abigail dan memberitahu bahwa Jonathan telah menunggunya untuk bersantap siang. Sambil bersantap, Jonathan bercerita tentang Miriam dan… Abigail memotong: “Bagaimana dengan Si Kecil ?”. Pertanyaan itu membuat Henry, si pelayan, sejenak membeku. Lalu ia berkata: “Maksud Nona, hantu rumah ini?”
Abigail mengangguk.
“Di tingkat terbawah rumah ini, ada sebuah pintu. Di balik pintu itu akan Nona temui tangga licin (Slippery Stairs) yang menurun menuju ruang bawah tanah. Di situlah Si Kecil dikubur sejak hari kematiannya. Tapi jika malam tiba, rohnya akan bangkit dan mencari-cari ibunya. Tapi Nona jangan coba-coba ke sana malam-malam. Tempat itu menyeramkan. Begitu banyak derita dan kematian di sana!"
***
Keesokan malamnya, seusai makan malam, sakit kepala yang sesekali menghinggapi Jonathan baru saja hilang. Lalu ia berkata pada Abigail: “Miriam, pegang tanganku.”, dan dihelanya Abigail menaiki tangga menuju kamar atas, tempat mereka akan memadu cinta. Sebuah kamar yang aromanya sama dengan saat Miriam hidup. Karena Jonathan alergi cahaya, maka Abigail mematikan lilinnya. Namun yang terjadi adalah, Jonathan selesai, sebelum permainan dimulai. Ia terbaring lunglai, tanpa menyadari, Abigail memandanginya dengan penuh kebencian dan perasaan jijik.
Jonathan tidur, lelap sekali. Inilah saat yang tepat untuk mengunjungi apa yang tersembunyi di bawah tanah sana. Abigail segera keluar dari kamar itu. Dengan menjinjing sebuah lentera, gadis itu melangkah cepat melewati koridor lalu turun ke lantai bawah. Seperti diceritakan Henry, ia memang menemukan sebuah pintu. Dibukanya pintu itu. Terlihat tangga menurun. Dengan hati-hati, dituruninya tangga yang memang licin (berlumut) itu, dan akhirnya sampailah Abigail di (kuburan) bawah tanah (The Crypt) yang penuh rahasia itu. Terlihat sebuah peti mati berukuran kecil. Perlahan Abigail membuka penutupnya.
Bau busuk menghampar.
Cahaya lentera di tangannya menerangi sesesok mayat anak kecil yang nampaknya telah diawetkan. Sementara di bagian dalam penutup peti mati itu, terpahat nama si mayat: ABIGAIL.
Mendadak Abigail merasakan nafasnya sesak. Sepasang matanya terpejam.
Setelah menguatkan hatinya, Abigail kembali memperhatikan mayat di depannya. Tampak seuntai kalung, dengan liontin berbentuk sayap terbuka, melingkar setengah terbenam di leher mayat itu.
“Apa yang Nona lakukan di sini ?!” terdengar suara Brandon Henry yang tiba-tiba saja telah berada dalam ruangan itu. Tanpa menjawab Henry, tangan Abigail bergerak cepat, menyentakkan kalung di leher si mayat kecil. Dan, kepala mayat itupun tanggal dari lehernya!
Lalu, sesuatu yang mengerikan segera terjadi.
Mendadak kedua tangan Henry memegang lehernya sendiri, seolah menahan sebuah celah yang tahu-tahu muncul di lehernya itu. Celah yang semakin lama semakin memanjang dan melebar. Darah mengucur deras. Saat berikutnya, tubuh Henry jatuh terjerembab di lantai yang digenangi darahnya sendiri, darah yang terus memancur dari kutungan lehernya.
Dan batok kepala pelayan itu, menggelinding entah ke mana!
***
Esok sorenya, badai telah pergi. Tapi awan gelap tampak menggantung di langit, seolah menunggu apa yang akan terjadi dalam rumah kuno besar di bawahnya.
Abigail masih berbaring di sisi Jonathan. Mendadak, antara sadar dan tidak, Abigail mendengar nama Henry dipanggil. Lalu ia melihat kaca yang pecah (Broken Glass). Pecahannya menggores daging, panjang dan dalam. Hujan deras turun, namun warnanya begitu merah, semerah darah, dan…
“Henry!” kembali terdengar panggilan itu, kali ini lebih keras. Abigail terjaga. Di sampingnya, Jonathan tengah berusaha turun dari tempat tidurnya.
“Mana Henry. Kenapa dia terlambat ?” tanyanya pada Abigail.
“Oh, tadi dia ke sini. Katanya ia agak meriang, jadi kusuruh dia kembali tidur. Biarlah malam ini, dan mungkin malam-malam selanjutnya, aku yang melayani dan menyuapimu…” terdengar Abigail berkata. Mendengar itu, Jonathan begitu bahagia. Ia merasa bahwa wanita di sampingnya benar-benar Miriam. Perasaan itu menyebabkan ia tidak memperdulikan nada suara Abigail yang terdengar agak aneh. Dan lelaki ini terlalu bodoh untuk menyimpulkan bahwa sebenarnyalah roh masa lalu Abigail telah kembali.
Roh yang dikuasai keinginan menuntaskan dendam, dendam berkarat selama 18 tahun!
***
Malam itu, dengan riang Abigail memasak makan malam. Tidak lupa, dia menumbuk halus beberapa pacahan kaca, lalu dicampurkannya dengan hidangan makan malam untuk Jonathan.
Ah, apakah yang akan terjadi adalah sebuah makan malam yang romantis, atau justru sebuah pembantaian ?
***
Dengan penerangan cahaya lilin, Jonathan, yang malam itu mengenakan stelan rapi, tampak benar-benar menikmati makan malamnya. Cintanya pada Abigail sebagai Miriam semakin berkobar. Ia akan memakan apa saja yang disuguhkan Abigail. Selama makan malam berlangsung, tak henti-hentinya ia memandangi Abigail. Wanita itu terlihat begitu cantik dan putih, bagai berlian yang kemilau dalam kegelapan.
“Miriam, Aku mencintaimu, dan…” ucapan Jonathan terputus. Dipegangnya kepalanya. “Oh, kepalaku sakit sekali…Oh, oh…Penyakit sialan ini kambuh lagi…Tapi…Kali ini seolah ada mengiris-ngiris kepalaku dengan pisau…Oh…Ini lebih dari rasa sakit (More Than Pain) yang biasa kualami…Oh…” Jonathan terus mengerang dan merintih.
Mendadak, Abigail tertawa nyaring, di sambut desau angin di luar rumah.
Di antara derai tawanya itu, Abigail, berucap tajam, menusuk: “Aku telah mencampur makananmu dengan tumbukan pecahan kaca. Rasa sekitmu akan bertambah. Inilah saatnya kau mengucapkan selamat datang pada sang kengerian. Lalu, enyahlah bersama hidupmu!”
“Miriam, ada apa dengan dirimu? Sakit sakali rasanya…Tolong aku, Miriam…Tolong…”
“Tidak! Kau akan mati! Kau tidak perlu lagi bersembunyi dalam kegelapan untuk menghindari cahaya, karena kegelapan dengan senang hati akan segera mendekapmu!”
“Miriam, aku tak percaya kau tega melakukan ini pada ku..Oh…Aku…aku…Hek!” darah tersembur dari mulut Jonthan, merah, berbuntal-buntal. “mengapa, Miriam… Mengapa?”
Abigail berdiri, tegak di depan lelaki malang itu, bagai seorang algojo yang tengah bersiap melaksanakan hukum pancung pada si terhukum yang bersimpuh tak berdaya. Lalu wanita ini berkata:
“Ingat apa yang kau lakukan pada ibuku. Kau mencoba membunuhku dengan membunuhnya. Miriam memang mati, tapi aku masih hidup. Akulah saudari ayahmu, ayah yang tidak pernah kau kenal dan yang pernah menyelamatkanku bertahun lalu. Kini aku berdiri di hadapanmu, putranya, yang begitu menyedihkan, yang hanya bisa hidup dengan sebuah kursi roda (The Wheelchair) dan masa lalu. Hakmu untuk hidup habis sudah. Aku telah begitu dekat dengan tujuan akhir perjalananku, balas dendam. Tak akan pernah kulupakan peti mati dan paku-paku perak itu. Tiap kali kau memandangmu, yang kulihat kejahatan yang menyelubungi sekujur tubuhmu dan menjalari segenap nadimu. Kau hampir membunuhku, dan kau harus membayarnya!” Sejenak Abigail berhenti, menghela nafas menahan luapan emosi dan dendamnya. Lalu ia melanjutkan: “Dan… Eh, tahukah kau siapa yang kau simpan di kuburan bawah tanah itu?”
Jonathan sudah tidak mampu lagi bersuara. Pikirannya yang kacau dan penderitaannya yang mendera ditambah perasaan bahwa ia telah dikhianati, membuat lelaki ini hanya bisa menggeliat-geliat di atas kursi rodanya.
Setengah berteriak, Abigail menjawab sendiri pertanyaannya: “Ia adalah bagian dariku!”
Jonathan berusaha bangkit dan turun dari kursi rodanya. Tapi tanpa tongkat, hal itu tidak mungkin dilakukannya. Tongkat itu telah berada ditangan Abigail, yang ia gunakan untuk mendorong tubuh Jonathan hingga kembali terduduk. Dan tiba-tiba ujung tongkat itu telah menempel di dada Jonathan.
Pembalasan dendam Abigail siap dimulai!
Mula-mula, terdengar suara tulang berderak patah saat tongkat itu menghantam pergelangan tangan Jonathan dengan keras. Lalu, empat-limakali hantaman mendarat di punggungnya. Dan terakhir, suara bersiut nyaring mengiringi sambaran tongkat di tangan Abigail, yang mendarat telak di leher Jonathan.
Jonathan mengerang kesakitan.
“Aha, kau masih hidup rupanya,” Abigail menjerit marah. Lalu: “Baiklah, akan kuajari kau bagaimana cara mati yang indah. Ini akan segera mengakhiri hidupmu.” Dijangkaunya sebatang obor di dinding, lalu dinyalakannya dengan cepat. Dan pada Jonathan, ia menghardik: “Buka matamu!”
Kobaran nyala api tampak membayang jelas di mata Jonathan. Lelaki itu menjerit penuh derita saat api dengan suka cita membakar tubuh sekaligus kursi rodanya. Dan setiap jeritan Jonathan selalu ditimpali tertawa nyaring Abigail.
Ini bukan mimpi.
Abigail tidak terkendali lagi.
Apa yang dilakukannya bukanlah semata-mata balas dendam. Tapi lebih sebuah penyaluran rasa nikmat setiapkali melihat Jonathan menderita dan tersiksa.
Dan akhirnya, tubuh hangus Jonathan tersungkur jatuh ke lantai…
***
Jonathan tewas, dan Abigail dengan penuh suka cita memandangi kursi roda yang masih dilamun api itu. Api lalu membakar lantai papan dan menjalar melahap tirai di dinding, semakin tinggi dan semakin tinggi. Dengan perkasa, api itu seolah mengumumkan: “Akulah Sang Api, yang akan memangsa habis semuanya. Akan kurobohkan rumah besar ini. Melalui diriku, mereka semua pasti (segera) tiba!”
Mereka, para arwah (Spirits) penunggu rumah ini, melayang-layang melintas di udara, menuju dunia lain untuk beristirahat selamanya, dan untuk menemani sahabat-sahabat lama mereka. Para arwah itu akan menggunakan sang api untuk meninggalkan rumah terkutuk ini.
Dan Abigail melihatnya. Melihat para arwah dengan sang api bergandeng tangan, menari mengelilinginya. Terus menari, sampai lidah api menjilat bagian bawah pakaian panjang hitam Abigail.
Tidak tampak bayangan rasa sakit di wajah Abigail saat sang api mulai membakarnya.
Roh wanita dari masa lalu itu, dengan arwah lain mendampinginya, perlahan meninggalkan tubuhnya yang mulai mengabur. Para arwah itu membimbing roh Abigail untuk menyatu dengan sang api, yang akan membawa mereka pergi…
Tapi, Abigail telah melupakan satu hal.
Kembaran kecilnya sendiri!
***
Sang api telah berkuasa sepenuhnya.Langit meratap, mencucurkan hujan deras, saat rumah kuno besar itu, roboh dan mati!
Sementara di bawah sana, tempat di mana sang apipun seolah enggan mendekat, kuburan bawah tanah itu masih hidup. Kegelapan, seperti biasa, menunggui tempat itu, bersama genangan darah di lantai batu. Lalu…terdengar ratapan seorang bocah!
Itu dia!
Tertinggal sendiri, dengan lentera di tangannya, yang menerangi peti mati tempat ia berdiri. Saudara kembar bocah ini, Abigail, terlalu sibuk dengan pembalasan dendam, hingga si kecil malang ini kini tak lebih dari roh kesepian yang tidak akan pernah menemukan rumahnya. Lebih dari itu, ia tidak akan pernah menemukan orang kepada siapa ia bisa bermanja-manja, sang ibu (Mommy), yang terkubur di bawah lantai batu. Ia bukan saja tidak mengetahui, di mana ibunya itu, tapi juga tidak pernah tahu, siapa sebenarnya sang ibu. Mungkin hanya saya dan beberapa orang lain yang tahu. Ya, ibunya adalah Si Nyonya DeLafey!
Seiring pagi yang datang menjemput malam, ratapan bersama tangis menyedihkan itu terus terdengar, merayapi pepohonan, merayapi tanah, merayap terus seolah tak akan pernah menemukan ujung:
“Ibuuu……Ibuuu……Ibuuu……Aku ingin pulang, Bu. Aku tidak suka tempat ini, begitu gelap dan dingin. Ibu, di manakah kau? Bisakah kita suatu saat bertemu. Ibu, datanglah, dan bawa aku pergi dari sini…Ibuuu...”
Ah, maaf sayang (Sorry Dear)… Aku tak bisa menolongmu….
*** SELESAI ***
©2002, December, 6th_z@envanhamme
Diolah dari berbagai sumber dan keterbatasan untuk berbahasa Inggris yang baik, hiks...
Oh, kok begitu sempatnya Panjenengan menulis ulasan ini di antara kesibukan... Luar biasa. Maaf, ralat, luwwar biyasa...
BalasHapusKepada Kiyai Zainur. Saya mohon izin menyalin naskah ini ke dalam bahasa Arap. Mau saya jadikan skripsi lamsung. Biar cepat lulus dengan nilai cumlaude. Ea??? (@TULISAN: KOK DAHSYAT KAMO, BAGIAN BAWAH TERJEMMAH ITU KOK PANDAY KAMO, MARI' SINI, SAN. ADD FB SAYA EA?)
BalasHapus@R'MF: 6 Desember 2002, beLLum sibu', hehehe... juga' leBBih duWWa puluh taWun dari perilisan Titos Du Polo Dede' Privat, hehehe...
BalasHapus@Kepada Kiai Pangapora: mari', silahkaM; dan jgn lupa "alif-eLLam"nya juga', ea? hihihi... dan katanya TULISAN: "Agghuuuuuuuuuuuuuhhhhhhhh!!!"
Dede' Private.. Hihi... Baru mau bilang.... Tapi itu kok ada temmannya Kak Ploh yang dak nyadi ngajar di madaris tiga itu, Kirk Hammet. Mau ngajar bahasa Inggris maunya, tapi lantas dak jadi lagi, karena Kak Ploh disamping panday gitar jugak panday Bahasa Inggris. Maunya biar jadi pembina Pramuka saja, tapi kasiyan sama Hammet lantas. Hihi
BalasHapus@Kyai Pangapora: Guh... saNpaY sudah ini, hihihi...
BalasHapusKéh HammeD mengajar bhs Inggris privat saja' pada Kéh Diamond, hihihi...
Salam.
BalasHapusSenang berkenalan dengan Anda :) dan juga sangat berterimakasih karena Anda rajin mengoleksi dan merawat dengan baik buku-buku saya (sebagai mana saya baca di blognya Ratih Kumala). Boleh tahu apakah diantara koleksi Anda terdapat buku saya berjudul : Panggilan dari Neraka. Karena saya sudah lama merindukan keberadaan Novel tersebut.
Atas perhatian dan kerjasama Anda saya ucapkan terimakasih :)