PISAU itu 'HARAM'!

Suatu malam, di langgar Pak Syaikhi...

Pak Syaikhi baru saja masuk dhalem setelah selesai membacakan kitab Sullam at-Taufīq pada fashlun wa min ma’āshil aydiy. Dan seperti biasa, setiap selesai pengajian, para santri mengadakan takrār (mengulang pelajaran) dan musyawarah guna menajamkan ‘perolehan’ pengajian mereka.

Musyawarah kali ini dibuka dengan pertanyaan seorang santri: “apa hukum menggunakan pisau”?

Respon pun bermunculan dari santri2 lain; debat, adu argumen, adu hujjah, (untunglah tidak sampai adu jotos seperti ‘taman kanak-kanak’), sampai akhirnya keputusan diambil, berdasar pendapat yang hujjah-nya paling kuat. Salah seorang santri senior kemudian didaulat untuk membacakan hasil keputusan tersebut, bahwa “hukum menggunakan pisau adalah haram jika untuk menyakiti dan/atau melukai orang lain tanpa alasan yang dibenarkan syara'”.

Nah, saat keputusan itu dibacakan, Pak Paémut kebetulan lewat di depan langgar. Ia berhenti sejenak, menyimak, lalu ngeloyor pergi (entah paham entah pula tidak)...

***

Esok harinya, di balai desa...

Beberapa orang penduduk –pria dan wanita—tampak memenuhi tempat duduk yang disediakan. Hari itu, sebagian warga yang profesinya petani dan pedagang, diundang untuk mendengarkan sosialisasi tentang koperasi desa. Sambil menunggu kedatangan Pak Lurah, mereka ngobrol ngalor ngidul, sampai Pak Paémut tiba2 berkata: “Eh, kalian dengar tidak, tadi malam santri Pak Syaikhi mengatakan bahwa pisau itu hukumnya haram karena bisa menyakiti orang lain!”

“Ah, apa pula itu?” Pak Sukalér bertanya heran. “Pisau kok haram?!”

“Ah, mereka kan sok tau aja, Pak.” timpal Sukatahu, ketua karang taruna yang (katanya) pernah juga nyantri di sebuah pesantren. “Haram itu kan urusan kita dengan Tuhan? Ngapain mereka ikut2an ngurusi? Lagian, kok cuma pisau yg diharamkan. Gimana dengan pedang, linggis, clurit, parang, kapak?" katanya (kapak? Waduh! Partelon tersinggung neh, jgn2 termasuk Kapak Naga Geni 212?!). Sukatahu lebih dulu mengusap mulutnya, lalu melanjutkan: "Harusnya semua sajam diharamkan dong!!!”

“Iya, ada-ada saja Pak Syaikhi, kek ga ada kerjaan aja ngurusin pisau segala macam” timpal Pak Lopak, sambil menghembuskan asap rokoknya kuat2. “Atau...” lanjut Pak Lopak, yang dalam acara2 desa sering didapuk jadi ‘pelawak’, “jangan2 pisau itu diharamkan karena (1) Ia suka bikin ibu2 lupa lakinya karena keasyikan ngiris bawang pake pisau. (2) pisau itu suka dipake nyembelih ayam. Trus, (3) bikin orang susah karena resah dan ‘pisau’, hahaha...fff!!!” Pak Lopak terpaksa menghentikan tawanya, saat ia sadar, leluconnya itu hanya memancing tawanya sendiri.

“Hei, Pak Paémut!” seorang wanita separuh baya berteriak setengah memekik. Namanya Bu Sukaini. Tapi secara sehari-hari dia jualan jamu gendong, warga memanggilnya Bu Kaindong, dan ia bangga2 saja dengan panggilan ‘akrab’ itu. “Bilangin ye sama ntu Pak Syaikhi, se-kali2 suruh masuk dapur gih, biar tau pisau itu banyak gunanya, banyak manfaatnya! Dasar Pak Syaikhi gapdap!” katanya berapi-api, berkobar-kobar, menyala-nyala, kebakaran!

“Gapdap?” tanya Pak Sukalér dan Pak Paémut nyaris bersamaan.

“Iye,” Bu Kaindong menjelaskan dengan penuh semangat: “gagap dapur!”