Minggu, 05 Januari 2014

MADAH NABAWIY: Bukan 'Ghuluw' Sama Sekali!


Bismi-Llâh, wa-l Hamdu li-Llâh, wa-s Shalâtu wa-s Salâmu ‘alâ Rasûli-Llâh, Sayyidinâ wa Maulânâ Muhammad i-bni ‘Abdi-Llâh, wa ‘alâ Âlihî wa Shahbihî wa man wâlâh...

 

‘Tetangga sebelah’ biasanya akan alergi dan ‘meriang, demam, panas-dingin’ manakala ada yang membaca kumpulan shalawat dan madah nabawiy, baik dari Maulid al-Barzanji, Maulid ad-Diba’iy, Maulid Habsyi, dan sebagainya. Alasan mereka adalah bahwa Rasulu-Llâh Shallâ-Llâh ‘alaihi wa Sallam sendiri melarang kita berlebihan dalam memuji (biasa mereka istilahkan dengan “ghuluw” pada) Rasulu-Llâh Shallâ-Llâh ‘alaihi wa Sallam, sebagaimana.dinyatakan oleh hadits:

لا تطرونى كما أطرت النصارى عيسى ابن مريم
فإنما أنا عـبد فقــولوا عبد الله ورسوله


"[Artinya] Janganlah kalian berlebihan dalam memujiku sebagaimana kaum Nashraniy yang berlebihan dalam memuji Nabi ‘Isa Putra Maryam. Aku tak lebih daripada seorang hamba (Allâh). Maka ucapkanlah (untukku) ‘Abdu-Llâh wa RasûluH'” (HR. Al-Bukhari, Ahmad, Tirmidzi dan selain mereka, dari Sayyidina Umar Radhiya-Llâhu ‘anh wa Rahimahum Ajma'in)

Sesungguhnya, jika mereka mau menggunakan otak kanan-kiri mereka dengan benar dan proporsional, maka akan diketahui bahwa hadits tersebut justru melegalisir berbagai pujian pada Rasulu-Llâh Shallâ-Llâh ‘alaihi wa Sallam. Paparan al-‘Alim al-‘Allâmah As-Sayyid Muhammad bin ‘Alawi bin Abbas al-Malikiy al-Hasaniy Rahimahu-Llâh berikut ini sungguh mencerahkan*:

[Terjemahnya] Adapun “ghuluw” dalam arti memaksimalkan rasa cinta, ketaatan dan ketergantungan kepada Beliau (Rasulu-Llâh Shallâ-Llâh ‘alaihi wa Sallam), maka hal ini sungguh disukai dan dianjurkan sebagaimana penjelasan hadits (yang artinya) “Janganlah kalian berlebihan dalam memujiku sebagaimana kaum Nashraniy yang berlebihan dalam memuji (sampai menuhankan Nabi ‘Isa) Putra Maryam”. Artinya, bahwa memaksimalkan pujian pada Beliau (Rasulu-Llâh Shallâ-Llâh ‘alaihi wa Sallam) dengan cara-cara yang tidak seperti ‘pujian’ kaum Nashrani pada Nabi ‘Isa (‘alaihi-s Salâm) itu adalah terpuji. (Karena) seandainya hadits tersebut tidak dimaknai demikian, maka tentu kesimpulannya adalah ‘segala bentuk pujian sama sekali tidak boleh’. Dan kita tahu betul bahwa kesimpulan semacam ini tidak akan muncul dari seorang muslim yang paling bodoh sekalipun, karena Allâh Ta’âlâ telah mengagungkan Kanjeng Nabi Shallâ-Llâh ‘alaihi wa Sallam dalam al-Qur-an al-‘Adzim dengan berbagai macam pengagungan yang paling luhur. 

Maka wajib bagi kita mengagungkan orang yang diagungkan dan oleh Allâh Ta’âlâ dan (kita) diperintahNya (agar juga) mengagungkan orang itu. Namun demikian, kitapun berkewajiban untuk tidak (memuji beliau dengan) melekatkan sifat-sifat ketuhanan pada diri beliau. Semoga Allah merahmati orang yang menyampaikan syi’ir ini:

دع ما ادعته النصارى في نبيهم *** واحكم بما شئـت فيه واحتكم

“[Artinya] Jauhilah asumsi kaum Nashrani terhadap Nabi mereka, dan tetapkanlah pujian apapun pada beliau (Nabi kita) dan perkuatlah (jangan goyah)”

Jadi memuliakan Beliau Shallâ-Llâh ‘alaihi wa Sallam dengan tanpa melekatkan sifat2 ketuhanan bukanlah bentuk kekafiran dan kesyirikan, tapi hal ini justru merupakan sebagian dari keta’atan dan pendekatan diri (kepada Allah) yang paling tinggi (nilainya), sebagaimana hal (kewajiban memuliakan) ini juga berlaku pada siapapun yang dimuliakan oleh Allâh Ta’âlâ seperti para nabi, para rasul Shalawâtu-Llâh wa SalâmuHû ‘alaihim ajma’in, dan seperti para malaikat, para shiddiqin, para syuhadâ’ serta orang-orang shalih. Allâh Ta’âlâ berfirman (yang artinya): “Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati” (QS. Al-Hajj:32); dan “Dan barangsiapa mengagungkan apapun yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya.” (QS. Al-Hajj:30)… [dst, sampai pada pernyatan Beliau]:

Sedangkan seseorang yang memaksimalkan pengagungannya pada Beliau (Kanjeng Nabi Shallâ-Llâh ‘alaihi wa Sallam) dengan segala bentuk pengagungan tapi tidak mensifati Beliau dengan satupun sifat-sifat Sang Maha Pencipta ‘Azza wa Jalla, maka ia sungguh benar dan telah menjaga sisi ketuhanan dan sisi kerasulan sekaligus. Dan ini adalah pernyataan yang tidak berlebihan dan tidak pula melalaikan. Dan seandainya pun ada seorang mukmin yang ucapannya (seolah) melekatkan (sifat-sifat ketuhanan) pada selain Allâh Ta’âlâ, maka ucapannya itu wajib dimaknai sebagai “majâz ‘aqliy”** dan tidak ada jalan untuk mengkafirkannya, karena gaya bahasa majâz ‘aqliy ini juga biasa digunakan dalam al-Qur-an maupun Sunnah. Misalnya pada firman Allâh Ta’âlâ (yang artinya): “…dan apabila dibacakan ayat-ayatNya, maka (ayat-ayat itu) menambah keimanan mereka” (QS. Al-Anfâl:2). Jadi, menyandarkan adanya “bertambah (iman)” pada “ayat-ayat Allah” dalah bentuk majâz ‘aqliy, karena yang “menambah” hakikatnya tetaplah Allâh Ta’âlâ semata… (Wa-Llâhu a’lam bi-s Showâb)

Allâhumma Shalli wa Sallim wa Bârik ‘alâ Sayyidinâ wa Maulânâ Muhammad wa ‘alâ Âlihî wa Shahbihî Ajma’în…

_____________________

* : diterjemah secara bebas dari Qul Hâdzihî Sabîliy halaman 21-22, dengan bantuan kamus tebal dan ketidakkemampuan memahami bahasa Arab dengan baik. :-(
**: “Majâz ‘Aqliy” ini, menurut Lora Faizi, adalah semacam “Figure of Thought”. Contoh: “Saya yang memperbaiki masjid ini,” kata Kiai Nidin. Padahal yang mengerjakan perbaikan adalah para tukang atas perintah K. Nidin. (Matorsakalangkong, Ra…) ;-)

4 komentar:

  1. saya senang jika ada persoalan serius namun ternyata bisa dibahas dengan menukik dan pendek, tidak bertele-tele... salut

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih, Ra... saya senang sekali jika ada penulis yang menyenangi tulisan saya, agar tulisan saya ini semakin senang dan menyenangkan pada orang-orang yang mimang seNNang.

      #SeNNang

      Hapus
  2. artikelnya di atas sangat menarik

    BalasHapus