
Pada kurun masa 1764-1767, Propinsi Gévaudan, Prancis, tercekam dalam terror serangan makhluk buas, yang lebih suka menyerang manusia dan bahkan mengabaikan mangsa lain semacam binatang ternak maupun hewan domestik lainnya. Binatang ini menyerang 200 orang lebih. Dari 113 korban tewas, 98 diantaranya dimakan.

Selain buas, pembunuh ini juga cerdik. Berkali-kali dia lolos dari sergapan para pemburu bahkan sepasukan tentara yang dikerahkan untuk membasminya. Namun, sepandai-pandai tupai, eh… salah; sepandai-pandai si buas ini menghindar, akhirnya ia jatuh juga. Pada 1767, seorang pemburu bernama Jean Chastel (1708 -1790) berhasil menamatkan riwayatnya, konon, dengan menggunakan peluru perak. Setelah membuka perut makhluk itu, Chastel menemukan sisa-sisa tubuh manusia korban terakhirnya.
Walaupun semua laporan mengarah pada serigala, namun tak satupun yang sesuai dengan ciri-ciri serigala Eropa yang umum dikenal pada masa itu. Banyak ahli percaya bahwa si buas ini sangat mungkin adalah hyena yang barangkali terlepas dari Menagerie (sejenis tempat penangkaran binatang yang populer di Prancis pada abad ke-17, dan merupakan salah satu cikal bakal dari apa yang kita kenal sebagai “Kebun Binatang”). Menurut mereka, deskripsi “lebih besar dari serigala, berwarna merah dan berbau tidak sedap” lebih cocok dialamatkan pada hyena, sejenis anjing liar yang banyak hidup di dataran Afrika dan sebagian wilayah Asia.

KOMENTAR SAYA: Asumsi para ahli bahwa si Buas dari Gévaudan adalah hyena (dubuk) rasanya lebih logis. Apalagi dengan adanya catatan sejarah bahwa hyena --terutama spesies hyena tutul (Crocuta crocuta) dan hyena belang (Hyaena hyaena)-- juga dikenal sebagai pemangsa manusia yang potensial. Sekedar illustrasi, pada kurun 1956-1961, serangan hyena di Republik Malawi, tepatnya di sepanjang dataran Phalombe sampai ke Pegunungan Michesi, telah menewaskan 24 orang. Dan pada 1962, sepasang hyena yang masing-masing berbobot 77 kg. dan 72 kg. bertanggung jawab atas tewasnya 27 orang di Mlanje, Malawi.

Selain itu, di antara sesama ‘preman pasar daging’ di Afrika, hyena barangkali adalah predator paling ‘tidak berperasaan’. Setelah berhasil menjatuhkan mangsanya, singa dan predator sejenisnya lebih dulu akan mengincar dan menerkam bagian leher atau tenggorokan si mangsa lalu menggigit kuat-kuat bagian itu untuk memutus jalur pernafasan. Setelah si mangsa benar-benar mati, barulah mereka memakannya. Sedangkan hyena tak mau direpotkan dengan prosedur berbelit seperti itu. Saat menyerang, ia akan menancapkan taringnya di bagian manapun tubuh korbannya, lalu merengkah bagian itu, mencabiknya, dan memakannya, saat si korban masih hidup. Pendeknya, jika kelompok macan berpedoman pada panduan: “bunuh dulu, baru makan”, maka hyena merasa cukup dengan: “makan dulu, Bro. Mau mati mau ga terserah!”

(Bersambung ke Man-Eaters #04, In Syâ' Allâh)
waduh serem amat yak..
BalasHapushahaha... welkam... welkam...
BalasHapuslama neh saya ga ngeblog; kawatir dah lupa cara komen, qiqiqiq...