Alhamdu li-Llāh, komentar para saudara dan sahabat (atas artikel saya: “Gajah-ku, Gajah-mu, Gajah-nya, [bukan] Gajah Kita”) telah memberikan “pelajaran berharga” buat saya. How come? Karena adanya fakta bahwa masing-masing ke-3 orang buta itu telah melakukan –paling tidak- 7 hal pokok di bawah ini:
- “MELIHAT” yang dilakukan dengan cara “meraba”, karena keterbatasan mereka (sebagaimana kita semua yang memang khuliqnā dlu’afā’).
- “MENGINTERPRETASIKAN” dan/atau “MENYIMPULKAN” berdasar pada apa yang di”lihat”.
- “MENYAMPAIKAN/MEMPUBLIKASIKAN” interpretasi tersebut.
- “MERASA BENAR” dengan interpretasinya.
- “MENILAI” (dalam benaknya) bahwa interpretasi “penglihatan” orang lain adalah “salah”.
- “MENGEMUKAKAN” dan “MENYAMPAIKAN” bahwa interpretasi “penglihatan” orang lain adalah “salah”.
- “MENGGUNAKAN KATA-KATA YANG JAUH DARI SANTUN” dan “terkesan menghakimi” (seperti ‘bodoh’, ‘bego’ dan sejenisnya atau yang lebih parah sehingga harus di”sensor”) saat “menyalahkan” interpretasi “penglihatan” orang lain.
Nah, saat komentar para saudara dan sahabat saya kaitkan dengan fakta-fakta di atas, maka, In-syā’ Allāh (dan semoga), akan membentuk sebuah “ilmu” yang mendidik dan menuntun saya agar:
Pertama, sebelum saya meng“hukumi benar-salah” pada masing2 fakta di atas, perlu ada –sebagaimana istilah teman2 NU Sumenep saat musyawarah diniyah bulanan – “pen-tafshīl-an”. Ini karena masing-masing fakta itu ternyata berdiri sendiri (mustaqill). Misalnya, jika fakta nomor 1 tidak salah, maka mestikah fakta nomor 2 pun begitu?; dan sebaliknya; dan seterusnya.
Kedua, saya harus open mind terhadap “selera” orang lain (yang “kelihatan” salah) sehingga tidak harus terjadi adu argumen memalukan yang nothing for something. Bukankah timbulnya pertengkaran “konyol” ke-3 orang buta itu hanya menjauhkan mereka dari tujuan perjalanan mereka? Bukankah seandainya tafsir GAJAH-KU saling disatukan dengan GAJAH-MU dan GAJAH-NYA, akan terbentuk sebuah gambaran representatif yang (walaupun tidak utuh, tapi minimal) aqrab ilās-shawāb tentang GAJAH MEREKA? Apalagi jika “si pengantar” ikut nyumbang “ilmu”, maka akan terbentuklah sosok GAJAH KITA. Dengan demikian, bukankah penafsiran masing-masing mereka bisa nāfi’ (bermanfaat) dan orang lain bisa intifā’ (mengambil dan merasakan manfaatnya); tidak justru berpotensi dloror (bahaya) dan idlrōr (membahayakan)? Bayangkan jika ke-3 orang buta itu mempublikasikan penafsiran dan penilaian masing-masing pada orang-orang buta lainnya yang ga tahu kayak apa GAJAH. Maka yang sangat mungkin terjadi, para loyalis Butawan atau yang se-ide dengannya akan ikut-ikutan menyalahkan Butatu dan Butatri beserta pengikut masing-masing. Lalu pihak Butatu dan Butatri juga akan membela diri lalu menyerang balik. What a chaos!.
Ketiga, kalaupun orang lain jelas-jelas salah menurut “kacamata” saya (yang memang -1,25), maka saya tidak boleh menyikapinya dengan cara yang salah pula (atau –dalam ungkapan Imam Ghazāli Rahimahu-Llāh - “membasuh (najisnya) darah dengan kencing”).
Keempat, saya harus mengedepankan klarifikasi (tabayyun) atau –setidaknya- telaah mendalam (istiqrā’) sebelum bersikap.
Kelima, Saya harus menelaah kembali konsep Islam tentang “syakk-dzann-yaqīn”, “ghībah” plus rahasia pelarangan “qadzf” seraya “bertanya pada nurani” (istiftā-ul qalb).
Maka, para saudara dan sahabat (terutama alladzīna yantasibūna ilā masyāyikhiy), dengan tulus saya sampaikan terimakasih atas kontribusinya dan maaf atas ketidak-benaran saya. Ta’dzim saya untuk Anda semua. Jazākumu-Llāh Ahsanal Jazā’...
Wa-Llāhu-l Muwaffiq ilā Aqwamit Tharīq.
Pertama, sebelum saya meng“hukumi benar-salah” pada masing2 fakta di atas, perlu ada –sebagaimana istilah teman2 NU Sumenep saat musyawarah diniyah bulanan – “pen-tafshīl-an”. Ini karena masing-masing fakta itu ternyata berdiri sendiri (mustaqill). Misalnya, jika fakta nomor 1 tidak salah, maka mestikah fakta nomor 2 pun begitu?; dan sebaliknya; dan seterusnya.
Kedua, saya harus open mind terhadap “selera” orang lain (yang “kelihatan” salah) sehingga tidak harus terjadi adu argumen memalukan yang nothing for something. Bukankah timbulnya pertengkaran “konyol” ke-3 orang buta itu hanya menjauhkan mereka dari tujuan perjalanan mereka? Bukankah seandainya tafsir GAJAH-KU saling disatukan dengan GAJAH-MU dan GAJAH-NYA, akan terbentuk sebuah gambaran representatif yang (walaupun tidak utuh, tapi minimal) aqrab ilās-shawāb tentang GAJAH MEREKA? Apalagi jika “si pengantar” ikut nyumbang “ilmu”, maka akan terbentuklah sosok GAJAH KITA. Dengan demikian, bukankah penafsiran masing-masing mereka bisa nāfi’ (bermanfaat) dan orang lain bisa intifā’ (mengambil dan merasakan manfaatnya); tidak justru berpotensi dloror (bahaya) dan idlrōr (membahayakan)? Bayangkan jika ke-3 orang buta itu mempublikasikan penafsiran dan penilaian masing-masing pada orang-orang buta lainnya yang ga tahu kayak apa GAJAH. Maka yang sangat mungkin terjadi, para loyalis Butawan atau yang se-ide dengannya akan ikut-ikutan menyalahkan Butatu dan Butatri beserta pengikut masing-masing. Lalu pihak Butatu dan Butatri juga akan membela diri lalu menyerang balik. What a chaos!.
Ketiga, kalaupun orang lain jelas-jelas salah menurut “kacamata” saya (yang memang -1,25), maka saya tidak boleh menyikapinya dengan cara yang salah pula (atau –dalam ungkapan Imam Ghazāli Rahimahu-Llāh - “membasuh (najisnya) darah dengan kencing”).
Keempat, saya harus mengedepankan klarifikasi (tabayyun) atau –setidaknya- telaah mendalam (istiqrā’) sebelum bersikap.
Kelima, Saya harus menelaah kembali konsep Islam tentang “syakk-dzann-yaqīn”, “ghībah” plus rahasia pelarangan “qadzf” seraya “bertanya pada nurani” (istiftā-ul qalb).
Maka, para saudara dan sahabat (terutama alladzīna yantasibūna ilā masyāyikhiy), dengan tulus saya sampaikan terimakasih atas kontribusinya dan maaf atas ketidak-benaran saya. Ta’dzim saya untuk Anda semua. Jazākumu-Llāh Ahsanal Jazā’...
Wa-Llāhu-l Muwaffiq ilā Aqwamit Tharīq.
kalau semua itu bisa dipraktekkan dalm dunia politik praktis, itu hhhhheeeeebbbbbattttt.... sayangnya situ ma' ta' berkecimpung di air keruh keh, pola tako' bacca'ah se kotor
BalasHapusAh, panjenangan kok nambah " pelajaran" baru, Ra? Yang lewat-lewat aja belum tentu saya "lulus".
BalasHapusSoal "tidak berkecimpung", alasan sy sederhana kok: karena "air" memang bukan "habitat" saya. Mnb saya memaksakan diri alangngoy apalagi menyelaminya, tako' tapegghah.... sakalangkong.
Ajunan sudah "open mind", Ra. Nirvana sudah masuk dalam deretan list "PENGIKUT (JUGA)".
BalasHapusMator sakalangkong.
#hail#
alangngoy di tajin sappar..
BalasHapus@jalanhakikat:
BalasHapusYa, Ra. Jege tedung "hail" aghili....:D
@Ra M. Faizi:
"Sappar, sappar dan tunggu, ini jawaban yang kami terima..."
Uu..ampon nganthang loranah.
BalasHapusHehehehehe...
BalasHapus