Wajar jika kita merasa benar. Namun perlukah kita mempublikasikan bahwa semua orang salah? Bijakkah, hanya dengan dasar interpretasi subyektif kita yang serba terbatas, kita begitu bersemangat menunjuk orang-orang di kanan-kiri kita sebagai orang-orang yang tidak benar? Enjoykah kita saat menyoroti kekurangan orang lain yang hanya sebesar hidung kutu padahal ada dinosaurus nangkring di pangkal hidung kita?
Wajar jika kita merasa baik. Namun perlukah kita memasang pengumuman bahwa selain kita (dan yang se-ide dengan kita) buruk semua? Perlukah kita teriak-teriak bahwa cara kita paling oke, paling keren, paling pas, paling efisien, paling efektif , sedangkan yang lain buruk semua? Baikkah jika kita merendahkan selera orang lain (yang jikapun gak bener namun belum tentu sepadan) dengan label "gak mutu", "gokil", "sok bla..bla..bla.." hanya karena selera mereka kebetulan berbeda dengan kita? Bukankah lucu jika kucing yang suka ikan kemudian mengkritisi ayam habis-habisan hanya karena ayam lebih menyukai bulir-bulir beras dan jagung?
Wajar jika kita merasa bermanfaat bagi orang lain. Namun wajarkah jika kita memvonis orang lain tidak bermanfaat, padahal –mungkin- hanya karena kita tidak tahu ada-tidaknya manfaat orang tersebut; atau lebih parah lagi, hanya karena manfaat itu tidak menyentuh kita? Bukankah aneh jika kancil mengatakan bahwa anggur itu kecut semua hanya karena ia tidak memperoleh kesempatan merasakannya?
Wajar jika kita merasa jujur. Namun wajarkah jika kita menilai orang lain dusta, bohong, hipokrit, saat kita sebenarnya tidak bisa secara jujur menilai kejujuran kita? Jujurkah kita manakala mencap seseorang membohongi publik dan pada saat yang sama kita tengah menelanjangi (apa yang kita asumsikan sebagai) keburukan orang lain di depan publik?
Wajar jika kita merasa pandai dan smart. Namun cerdikkah kita saat kita menghukumi siapapun di luar link kita itu bego semua?
Kita memang bebas melaksanakan hak kita. Namun bukankah kita –sebagai orang beragama- sadar bahwa kebebasan itu tidak mutlak? Bukankah ia dibatasi dengan norma dan rambu agama yang berupa kewajiban-kewajiban agar tidak isrāf (melampaui batas)? Bukankah setiap saat kita diajari mendahulukan iyyāka na’budu daripada iyyāka nasta’īn?
Kita berhak bicara, namun bukankah kita juga berkewajiban mempertimbangkan efeknya?
Kita berhak memutar tape kita dengan volume maksimal, toh itu tape kita, dibeli dengan uang kita, yang ke toko kaki kita. Namun bukankah kita juga harus toleran dengan tetangga sebelah yang sedang sakit gigi?
Bukankah kebenaran hanya dari dan milik Allāh Subhānahū wa Ta'ālā (al-Haqqu min Rabbik)? Bukankah hanya standar agama-Nya yang layak dijadikan acuan (mā-s tatha'nā) dalam memaknai setiap fenomena; bukan mengandalkan inner self ataupun asumsi dan interpretasi yang berdasar "menurut hemat saya", like-dislike, love-hate, serta 'insting' kita?
"Orang dalam kaca, jangan diam saja. Jawab aku walau sekata, saat ini hatiku resah..." (God Bless, 1988)
Wajar jika kita merasa baik. Namun perlukah kita memasang pengumuman bahwa selain kita (dan yang se-ide dengan kita) buruk semua? Perlukah kita teriak-teriak bahwa cara kita paling oke, paling keren, paling pas, paling efisien, paling efektif , sedangkan yang lain buruk semua? Baikkah jika kita merendahkan selera orang lain (yang jikapun gak bener namun belum tentu sepadan) dengan label "gak mutu", "gokil", "sok bla..bla..bla.." hanya karena selera mereka kebetulan berbeda dengan kita? Bukankah lucu jika kucing yang suka ikan kemudian mengkritisi ayam habis-habisan hanya karena ayam lebih menyukai bulir-bulir beras dan jagung?
Wajar jika kita merasa bermanfaat bagi orang lain. Namun wajarkah jika kita memvonis orang lain tidak bermanfaat, padahal –mungkin- hanya karena kita tidak tahu ada-tidaknya manfaat orang tersebut; atau lebih parah lagi, hanya karena manfaat itu tidak menyentuh kita? Bukankah aneh jika kancil mengatakan bahwa anggur itu kecut semua hanya karena ia tidak memperoleh kesempatan merasakannya?
Wajar jika kita merasa jujur. Namun wajarkah jika kita menilai orang lain dusta, bohong, hipokrit, saat kita sebenarnya tidak bisa secara jujur menilai kejujuran kita? Jujurkah kita manakala mencap seseorang membohongi publik dan pada saat yang sama kita tengah menelanjangi (apa yang kita asumsikan sebagai) keburukan orang lain di depan publik?
Wajar jika kita merasa pandai dan smart. Namun cerdikkah kita saat kita menghukumi siapapun di luar link kita itu bego semua?
Kita memang bebas melaksanakan hak kita. Namun bukankah kita –sebagai orang beragama- sadar bahwa kebebasan itu tidak mutlak? Bukankah ia dibatasi dengan norma dan rambu agama yang berupa kewajiban-kewajiban agar tidak isrāf (melampaui batas)? Bukankah setiap saat kita diajari mendahulukan iyyāka na’budu daripada iyyāka nasta’īn?
Kita berhak bicara, namun bukankah kita juga berkewajiban mempertimbangkan efeknya?
Kita berhak memutar tape kita dengan volume maksimal, toh itu tape kita, dibeli dengan uang kita, yang ke toko kaki kita. Namun bukankah kita juga harus toleran dengan tetangga sebelah yang sedang sakit gigi?
Bukankah kebenaran hanya dari dan milik Allāh Subhānahū wa Ta'ālā (al-Haqqu min Rabbik)? Bukankah hanya standar agama-Nya yang layak dijadikan acuan (mā-s tatha'nā) dalam memaknai setiap fenomena; bukan mengandalkan inner self ataupun asumsi dan interpretasi yang berdasar "menurut hemat saya", like-dislike, love-hate, serta 'insting' kita?
"Orang dalam kaca, jangan diam saja. Jawab aku walau sekata, saat ini hatiku resah..." (God Bless, 1988)
Abdhina terro ngajiyah, Ra. Ongghuwen..
BalasHapusErs! Komentar dankaule tentang panjenengan ada di bawah artikel "Muhammad, My Hero"... Tak langkong, jhe' ngitek e tera'nh...
BalasHapusposting ini telah menunjukkan the other side of partelon.
BalasHapusbtw, enakan mana ya antara "partelon" dan "pertelon"?
yes, the side that full of questions, hopes, and dreams....
BalasHapusya... enakan partelon, kan itu nama blog saya?! Hehehe... sy cuma norok patonah reng konah, Ra, "nyamah saparengah kyae". Kbtulan nama itu idenya 2 kyai, kyai FaaiZI dan Kyai AziiZI, maka ZInur manut...:)
Thx.
Membaca tulisan ini untuk kesekian kalinya, ada satu hal yang terlewati: Refleksinya mendalam, mendobrak dinding kesadaran,menghantam keras egoisme primitf naluri manusia. Luar biasa. Abdhinah ngajiyah ya, Ra... Ongghuwen.
BalasHapusYaps...Pekerjaan paling gampang adalah menilai orang,dan yang paling mudah adalah menyalahkannya.Siapa lagi yg kt salahkan kläu bkn orang lain kt jdkn kambing hitam.Mskpn smua kambing tdk hitam.FATAAMMAL SOPO SIRO.
BalasHapusma' a ceramah maseh... ta' poas a khotba jum'at baktonah sempet paleng
BalasHapusPakailah Sandal Lily
BalasHapus@ Lily:
BalasHapusSaporana, kaula angguy DAIMATU, Keh.. DAIMATU ZEBRA!
@jalanhakikat:
BalasHapusaduuuu, aduuuu, aduuuu....
@$@ngng@r@ñ:
kok bs gt ya, Sim?
@(Keh)Hazmi:
lumayan agaduan blog, ra. kening bhedi paburuan mun tppa'nh seppe order :D
@Lily:
Skalangkong dah berkunjung k partelon. Kalo pulang. Sandal lilynya jhe' paceccer, tako' kabbhi ngakoh :D
@titos du polo:
BalasHapusya, semoga pmberitahuan anda dpt terzebra luas :D
Ongguwen, Ra. saya seriyus, ingin ngaji, tapi jangan akampanye I.M ya.. ;)
BalasHapusOya? Btul? Silahkan, silahkan. Mari kita mulai dari....BRUKK! Aw!!!!
BalasHapusRa, terima kasih, ya..
BalasHapusbetul. kebenaran hanya milik Tuhan.
BalasHapusTapi namanya juga manusia selalu merasa benar, termasuk..aku nih. hiks....mesti bertobat nih.
@jalanhakikat:
BalasHapusyou're welcome. saporanah kalo gmbar paketan sy t'nyt "yesterday news"....
@Sang Cerpenis bercerita:
hiks juga! :) thx dah mampir...
Tidak apa-apa, Ra. Terima kasih.
BalasHapusKiriman sangat berharga, Ra...
BalasHapusSakalangkong...
BalasHapusWoooow ketahuan alim nya...heeehee
BalasHapuskereeeeeeennnnnnnnnnnn
BalasHapus