I
Pada dasarnya, bala’ ( البلاء ) secara terminologis adalah ujian (al-ikhtibar) yang (baik aplikasi atau implikasinya) bisa positif dan bisa pula negatif .[2] Hal ini bisa kita lihat misalnya dalam Surat al-Anbiya’ ( 21) : 35 atau Surat al-A’raf (7) : 168. Dan terminologi bala’ ini menjadi sebuah wacana yang layak untuk diperbincangkan manakala kita cermati fakta ditengah sebagian masyarakat (terutama dari kalangan masyarakat tradisional), bahwa bala’ (balad/tola, bhs. Madura-pen.) ternyata hanya dikonotasikan pada hal-hal yang bersifat negatif semacam celaka, sial, naas dan sebagainya. Menariknya, hal negatif tersebut selalu diyakini sebagai sebuah resiko dari perbuatan jahat terhadap seseorang yang dianggap memiliki kelebihan-kelebihan tertentu. Interpretasi semacam ini tentu tidak dapat serta merta dipersalahkan begitu saja. Karena, paling tidak, ada sisi-sisi kebenaran di dalamnya. Hanya, barangkali, hal-hal yang agak menyimpang perlu untuk diluruskan sehingga dapat selaras dengan konsep Islam (yang penulis pahami secara sangat terbatas) tentang bala’ itu sendiri. Untuk itulah risalah sederhana ini menjadi (agak) perlu untuk ditulis.
II
Pertama, harus diyakini bahwa segala hal atau peristiwa yang menimpa setiap kita, baik itu menyenangkan atau tidak; manis atau pahit; lunak atau keras; sejatinya adalah merupakan realisasi dari qudrah dan iradah Allah SWT[3]. Namun tentu kita tidak dapat menafikan faktor-faktor lain yang menjadi sebab bagi terealisirnya peristiwa tersebut. Di antara faktor-faktor tersebut, yang rasanya paling terkait dengan tema tulisan ini, adalah apa yang kemudian dikenal sebagai ‘hubungan sebab-akibat’.
Dalam al-Quran, banyak terdapat ayat yang mengindikasikan bahwa terjadinya suatu insiden terhadap seseorang atau suatu kelompok manusia adalah sebagai resiko dari perbuatan mereka sendiri. Satu diantaranya adalah firman Allah SWT :
و ما أصابكم من مصيبة فبما كسبت ايديكم و يعفو عن كثير [4]
Menurut Imam Jalal ad-Din as-Suyuthi, obyek dari kata “ كم “ dalam ayat di atas adalah kaum mukminin. Sedang kata “ مصيبة “ diinterpretasikan sebagai ‘bencana dan kesengsaraan (al-baliyah wa asy-syiddah)’.[5] Selanjutnya, dari ayat ini, diasumsikan pula bahwa ada dua jenis perbuatan dosa; pertama, dosa yang kosekuensinya diwujudkan di dunia dengan musibah sebagai realisasinya. Kedua, dosa yang diampuni. Dosa jenis kedua ini yang secara kuantitaif lebih banyak.[6]
Sekelumit illustrasi di atas akan terasa relevansinya jika kita mengkorelasikannya dengan perbuatan dosa yang berformat ‘menzolimi orang lain’ alias ‘la-nyala’. Bahkan salah satu wejangan Rasululah SAW pada Mu’adz bin Jabal saat beliau mengutusnya untuk menjadikannya seorang amir di Yaman adalah “takutilah doa seseorang yang didzolimi”.[7] Terlebih jika kemudian al-madzlum (obyek perbuatan zolim)-nya adalah seseorang yang telah mencapai predikat waliyullah , atau, paling tidak, seseorang yang, dengan ketakwaan dan keshalehannya, mendekati predikat tersebut. Bagi mereka ini, Allah SWT telah menyatakan bahwa Dia-lah yang akan menjadi ‘pelindung’ dan ‘wali ‘. Pernyataan-Nya tersebut termaktub jelas dalam, misalnya, Surat al-Baqoroh (2) : 285, al-Anfal (8) : 34, al-Hajj (22) : 38, ar-Rum (30) : 48. Ada 4 (empat) substansi dari ‘kesediaan’ Allah SWT menjadi wali bagi mereka yang muttaqin ini, yaitu an-naf’u (optimalisasi fungsi keimanan) dan ad-daf’u (penjagaan dan perlindungan), an-nushroh (pertolongan), dan an-najah (pembebasan dan pengentasan).[8] Dari sini menjadi jelas bagi kita bahwa sangat wajar jika kemudian Allah SWT ‘menyatakan perang’ bagi siapapun yang menyakiti dan berbuat kesewenangan terhadap mereka yang senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT.[9]
Wa Allah A’lam bi ash-Shawab
Prenduan, 3 Oktober 2002
[2] Al-Imam Ibni Katsir ad-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-`Adzim (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/1994 M), hlm. 116.
[3] Ini bisa kita simpulkan dari interpretasi tentang qodlo’ dan qodar dalam konsep ilmu kalam atau i’tiqad tauhidiy ‘ala mazhab al-Imam al-Asy’ariy dan al-Maturidiy. Lihat misalnya : Asy-Syaikh Abi al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari, al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah (ttp. : Mamlakah Arabiyah Suudiyah, 1409 H) cet. V, hlm. 153-199; Syaikh Muhammad Nawawiy al-Jawi, Kasyifah as-Saja, Syarh Safinah an-Naja ( Surabaya: al-Hidayah, t.t.), hlm. 12.
[4] QS asy-Syura (42) : 30
[5] Imam Jalal ad-Din Muhammad al-Mahalli dan Imam Jalal ad-Din Abd. Rahman as-Suyuthi, Tafsir al-Quran al-Adzim (Beirut : Dar al-Fikr, 1412 H / 1991 M), II/hlm. 348. Lebih jauh as-Suyuthi menjelaskan bahwa musibah ini adalah resiko dari perbuatan dosa seorang mukmin. Sedangkan musibah atas seorang mukmin yang tidak melakukan dosa adalah semata-mata ‘medium’ untuk meninggikan derajatnya kelak di akhirat.
[6] Lihat misalnya: Asy-Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, at-Tafsir al-Munir, (Bandung: Syikah Ma’arif, t.t.), II/hlm. 270; dan : Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad ash-Shawi al-Maliki, Hasyiyah ash-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain, (Surabaya: al-Hidayah, 1421 H / 2001 M), IV/hlm. 50.
[7] Lihat : Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Beirut : Dar Ihya’ at-Turots al-Arabi, t.t.) Bab “ Ba’ts Abi Musa Wa Mu’adz ila al-Yaman Qabla Hajjah al-Wada’”, V/hlm. 205-206.
[8] Asy-Syaikh Muhammad bin Salim Ba Bashil asy-Syafi’ie, Is’ad ar-Rofiq (Surabaya: al-Hidayah, t.t.), II / hlm. 167.
[9] Lihat : al-Imam Abi Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi , Riyadl ash-Shalihin (ttp.: Dar al-Fikr, 1400 H/ 1980 M), Bab “ ’Alamat Hub Allah Ta’ala al-‘Abd ”, hlm. 181.
Allah............!
BalasHapus